BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikat adalah kata benda yang berarti kebenaran atau
yang benar-benar ada. Kata hakikat berasal dari kata pokok hak (al-haq),
yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). Sedangkan, hukum islam
adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya
yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengn kepercayaan
(aqidah) maupun hukum-hukum yang berhbungan dengan amaliyah (perbuatan).
Allah
menciptakan manusia untuk beribada kepada-Nya. Dalam rangka melaksanakan ibadat
kepada Allah SWT, manusia telah diberi petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah
tersebut dinamakan al-Din. Istilah al-Din disebut juga al-Millah atau al-Islam.
Agama diberikan Allah kepada
manusia sama dari dulu sampai dengan akhir zaman. Dan untuk melaksanakan agama, selanjutnya Allah
SWT, telah memberikan syari’at kepada manusia dibawah bimbingan dan pentunjuk
Rasul-Nya.
Dalam
menjalani kehidupannya, manusia diberi aturan-aturan yang dinamakan hukum
islam. Aspek hukum dalam islam terkadang disebut fiqh, hukum dan juga syari’ah.
Dan melalui makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang Hakikat
Hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Al-qur’an sebagai sumber hukum islam
2. Sunnah sebagai sumber hukum islam
3. Ra’yu sebagai sumber hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Qur’an
Al-qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah Swt dengan bahasa Arab untuk melemahkan musuh walau dengan surat yang pendek yang
ditulis dalam mushaf dan yang diturunkan secara mutawatir yang pembacanya
bernilai ibadah yang di awali dengan surat al-fatihah dan di akhiri dengan
surat an-nas.
Al-Qur’an adalah laksana sinar yang memberikan penerangan
terhadap kehidupan manusia, bagaikan pelita yang memberikan cahaya kearah
hidayah dan ma’rifah.[1]
Kehujjahan
Al-Qur’an
Al-qur’aul karim
yaitu wajib bagi semua untuk melakukan perbuatan sesuai petunjuk
al-qur’anul karim karena sesungguhnya al qur’an itu yang benar cara
menyampainyaannya dengan cara pasti kalam Allah dengan jalan yang pasti dan
tidak keraguan didalamnya dan tidak ada keserupaan dan dalil yang pasti.[2]
Dalil al qur’an yang
menunjukkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, Surat al-isra’ ayat 9
اِنَّ
هَذَاالقُرْأَنَ يَهْدِىْ لِلَّتِىْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ا لمُؤْمِنِيْنَ الَّذِئْنَ
يَعْمَلُوُنَ الصَّلِحَتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًاكَبِيْرًا
“Sungguh al-qur’an ini
meberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus mereka akan member kabar gembira
kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat pahal yang besar. (qs.
Al-isra’ ayat 9)”
Adapun alasan metode
penetapan hukum menurut Umar Shihab, yaitu:
1. ( الاموربمقاصدها ) semua urusan sesuai dengan maksudnya.
1. ( الاموربمقاصدها ) semua urusan sesuai dengan maksudnya.
2. (
المشقة تجلب التَيسير ) kesukaran
mendatangkan perubahan, metode ini bersumber dari hadits Nabi يريدالله
مكم اليسر ولايريدالله بكم العسر , adapun penyebab keringanan
dalam pelaksanaan hukum
tersebut ada 7 yaitu: perjalanan/safar, sakit, paksaan, lupa, ketidaktahuan, kesulitan yang sangat, Pengurangan.
3. (
ل الضرريزا ) kemudharatan
harus ditinggalkan, contoh: dibolehkannya makan
daging-daging ular jika seseorang
berada di tengah hutan, untuk menghindari
kematian yang disebabkan oleh
kelaparan.
4. (
العادة محكمة ) Adat dapat ditetapkan sebagai hukum, contoh: haid,
balighnya seseorang, masa sedikitnya haid, nifas, thaharah dan lain sebagainya.
5. (
اليقين لايزال ) Suatu
yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan, contoh :
keraguan seseorang dalam sholat, apakah dia mengerjakan 3 rakaat atau 4 rakaat, tetapi ia yakin
menjalankan 3 rakaat walaupun aslinya dia mengerjakan 4 rakaat,
maka kesalahan tersebut dimaafkan.
Cara pengambilan hukum islam dari Al-Qur’an:
1.
Lafzhiyah yaitu
pengambilan hukum islam dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Dari lafadz tersebut yang
bisa dijadikan sebagai dasar hukum yaitu lafadz yang mengandung:
a.
Amr (perintah), dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Menunjukkan wajib,
alasannya terdapat pada surat Al-A’raf ayat 12
قَالَ
مَا مَنَعَكَ اَلاَّ تَسْجُدُ اِذْ اَمَرْتُكَ
“Apakah yang
menghalangimu untuk bersujud (kepada adam) diwaktu aku menyuruhmu?”
Dalam firman diatas bukan dimaksudkan bertanya (meminta penjelasan), tetapi
menyatakan pencelaan terhadap iblis, karena tidak mau sujud tanpa halangan.
2)
Menunjukkan
anjuran, suruhan atau perintah itu ada kalanya untuk keharusan (wajib), seperti
shalat lima waktu dan ada kalanya untuk anjuran seperti shalat dhuha adalah
anjuran.
b.
Nahi (larangan), seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 11
وَاِذَاقِيْلَ
لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِ الاَرْضِ. قَالُوْااِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
“Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi...”
c.
Khash dan al-Aam
Khash yaitu lafadz yang menunjukkan
kepada sesuatu satuan tertentu, atinya lafadz itu hanya diperuntukkan bagi yang
tertentu seperti Ali, laki-laki, perempuan.
Sedangkan aam yaitu lafadz yang mencakup seluruhnya yang dapat
diterapkan kepada makna lafadz itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
d.
Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq yaitu suatu lafadz
yang menunjukkan suatu hal tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa
perkataan sperti firman Allah: “dan bebaskanlah hamba sahaya” (QS:
Al-Mujadalah: 3). Dalam ayat tersebut tidak diterangkan apakah hamba sahaya
yang mukmin atau hambasahaya yang bukan mukmin.
Sedangkan muqayyad yaitu suatu lafadz yang menunjukkan suatu hal
dengan ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti firman
Allah: “maka membebaskan seorang hamba sahaya yang beriman” (QS: An-Nisa’: 92).
Disini yang dibebaskan adalah hamba sahaya yang beriman.
e.
Manthuq dan mafhum
Manthuq yaitu hukum yang ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri. Sedangkan,
mafhum yaitu hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafadz itu sendiri,
tetapi pemahaman terhadap lafadz tersebut.
Alasan Al-Qur’an sebagai sumber hukum: al-qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang
pertama. Disebut demikian karena Al-Qur’an merupakan pengambilan hukum yang
pertama dan tempat rujukan yang pertama. Selain sumber hukum Islam yang
pertama, Al-Qur’an juga merupakan sumber hukum Islam yang utama. Hukum-hukum
yang terkadung di dalamnya merupakan wahyu Allah.
2. Sunnah/
hadist
Sunnah menurut menurut ulama’ ushul fiqh
yaitu setiap sesuatu yang timbul dari Rasulallah SAW baik berupa perkataan atau perbuatan atau penetapan.
Dasar berpegang kepada sunnah
sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dengan
berpegang pada A-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan,
maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat
pertentangan antara makna dzahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam
sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna
yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl madinah, maka ia
lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an. (sunnah yang dimaksud adalah
sunnah mutawatir atau masyhurah).
Kehujjahan As-Sunnah
Nabi
adalah seorang Rasul yang ma’shum (terjaga dari segala perbuatan hina, dosa dan
maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allah dari
segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang Rasul.[3]
Alasan umat Islam berpegang
pada hadits karena hadis berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal
serta memberikan persyaratan taqyid terhadap ayat-ayat yang muthlaq.
Ia juga berfungsi mengkhususkan terhadap ayat-ayart yang bersifat umum.[4] Selain itu memang di perintahkan oleh
Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara
yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam
Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai
hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara
secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah
Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna
alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab
semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi
permasalahannya.
Macam- macam sunnah ada
tiga:
1. Sunnah
qauliyah yaitu yang di maksut hadist qauliyah sebagaimana sabda Rasulallah SAW.
Seperti:
Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan bahwa tidak boleh melakukan
kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan kemudharatan.
2. Sunnah
fi’liyah yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Rasulallah SAW seperti
melaksanakan sholat lima waktu.
3. Sunnah
taqririyah yaitu ketetapan yang telah di tetapkan oleh Nabi Muhammad atau dengan cara
Nabi Muhammad diam.
Seperti
: dimasa Rasulallah ada dua orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan
sholat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan sholat.
Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu sholat masih berlanjut. Lalu
salah seorang diantara keduanya mengulangi sholatnya dan yang lain tidak.
Ketika mereka melaporkan hal itu kepada Rasulallah, beliau membenarkan kedua
peraktik tersebut.[5]
Macam-macam
hadist di tinjau dari segi kualitas sanadnya:
1. Hadist
mutawatir
yaitu hadist yang diriwayatkan golongan
banyak yang mana banyak itu tidak di mungkinkan berdusta dari sesamanya orang
tersebut sampai ke ujung yang mengeluarkan hadist dan adanya orang yang mengeluarkan hadist itu
tidak begitu banyak.
2. Hadist
ahad
Yaitu tahapan hadist atau tiap-tiap yang tidak
sampai pada tingkatan hadist mutawatir gambaannya hadist ahad ini sanadnya
satu.[6]
Macam-macam hadist ahad:
a. Hadist
masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan dengan tiga jalur perawi atau lebih
namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir
b. Hadist
azis yaitu hadist yang diriwayatkan dengan dua jalur perawi.
c. Hadist
gharib yaitu hadist yang diriwayatkan hanya lewat satu perawi.
3. Al-Ra’yu (Akal Fikiran atau Ijtihad)
Sumber hukum islam ketiga adalah akal fikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang
ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam
al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah
Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat dilaksanakan pada
suatu kasus tertentu.[7] Alasan
Ijtihat digunakan sebagai sumber hukum islam:
Sebagaimana ketetapan Al-Qur’an tentang prinsip syura
berarti mengakui pendapat yang diambil dalam permusyawaratan sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Syura ayat 38:
وَاَمَرَهُمْ
شُوْرَى بَيْنَهُمْ.....
“... Sedang
urusan-urusan mereka (diputuskan)dengan musyawarah antara mereka...
Tujuannya menggunakan ijtihat
yaitu untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat islam disetiap zaman dan
generasi yang berbeda.
Macam-macam Ar-ra’yu:
1. Ijma’ yaitu menurut ulama’ ushul ialah sepakat orang
yang berijtihad dari umat Nabi Muhammad
SAW setelah wafatnya Nabi Muhammad dari masa ke masa atas dasar hukum syara’
dan adanya kesepakatan tersebut harus timbul dari orang-orang yang berijtihad
yang mana kesepurnaan orag yang berijtihad itu ahli dalam berijtihad .
Jadi
perkataan orang yang bodoh dan orang yang tidak ahli dalam mengeluarka hukum
syariat itu tidak boleh di percaya atau diikuti. Dan adanya kesepakatan
tersebut harus dari semua orang yang berijtihad jadi kalau ada ijma’ yang di
tetapkan pada kesepakatannya lebih banyak orang berijtihad maka tidak di anggap.
Dasar hukum ijma’:
وَمَنْ
يُشَاقِقألرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مأَ تَبَيَّنَ لَهُرالْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ
الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَى وَنُصَلِّهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“ barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran
bagi nya dan mengikuti jalan yag bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami
biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu, dan kami
masukkan ia kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.”[8]
2. Qiyas
Qiyas menurut lughoh artinya menukur sesuatu dengan Sesutu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya .
Menurut ulama’ ushl fiqh yaitu
meghubungkan (menyatukan hukum) sesuatu
yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya
karena ada persamaan illat antara keduanya.
Sumber hukum qiyas:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْااَطِيْعُوْالّلَهَ
وَاَطِيْعٌو الرَّسُوْلُ وأُولِى الأَّمْرِمِنْكُمْ فَأنِنْ تَنَا زَعْتُمْء فِيْ شَيْئٍ
فَرَدُّوْهُ اِلَى اللَّهِ وَلرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوُنَ بِاللَّهِ اللَّ خِيْرِ ذَالِكَ خُيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيَلاً
“ Hai
orang orag yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat ttentang sesuatu, maka
kembalilah ia kepada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnah nya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagi mu) dan lebih baik akibatnya”
3. Istihsan
Istihsan
dalam arti lughoh memegang sesuatu yang bagus. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh yaitu
meninggalkan perumpaan yang samar atas perumpaan yang jelas dengan dalil
/pengecualian bagian hukum dari asal keseluruhan atau undang-yang umum uang
didirikan atas dalil yang khusus yang mana semua itu menjadi tuntutan.
Contoh: menghukumi
sucinya binatang buas, burung gagak, dan burung elag dan burung raja wali.
Alasan metode tersebut di jadikan sebagai sumber
hukum sesuai firman Allah surat Az-zumar 39/18:
اَلَّذِيْنَ
يَسْتَعُوْنَ القَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَ وَألَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللَّهُ
وَأُولَئِكَ هُمْ اُولُوالْلبَابِ
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mepunyai akal.
Ayat tersebut, memuji orang-orang yang mengikuti
perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti
sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
Sabda Rasul
مارأهالمسلمون
حسنا فهو عندالله حسن
“apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam,
adalah juga baik di sisi Allah (HR. Ahmad dalam kitab Sunnah)
Hadist tersebut menganjurkan untuk mengikuti apa
yang dianggap baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik di
sisi Allah.dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
4. Urf
Urf adalah setiap sesuatu yang di
biasakan oleh manusia dan menekuninya baik dari pekerjaan yang umum diantara
mereka semua. [9]
Contoh:
perbuatan atau kebiasaan di suatu msyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan
ringan sehari-hari seperti: garam, tomat dan gula, dengan hanya Menerima barang
dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
Ulama’ yang menyepakati urf
yaitu kalangan hanafiyah dan malikiyah
dan yang menolak urf yaitu kalangan syafiiya dan hanbali.
Dalil urf sebagai sumber hokum
surat al-A’Rof ayat 199
خُذِاعَفْوَ
وَأْمُرْ بِلْلعُرْفِ وَأَعْعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-urfi),serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dalam
proses pengambilan hukum ‘urf/adat
Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama Figh terutama di
kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan
istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang
tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu
adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama
Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga
didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang
umum.
Ulama
Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam
hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam
penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam Figh,
al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat
muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum.
5. Syadzuz
dzari’ah
Yaitu hukum-hukum yang di
syariatkan pada umat terdahulu atas ajaran nabi. Seperti ajarannya Nabi Ibrahim
dan Nabi Musa dan Isa AS.
Contoh:
sholat jumat merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan kegiatan
untuk melaksanakan sholat jumat wajib pula hukum nya.
Dasar hukumnya
surat al-an’am ayat 108
وَلاَ تَسُبُوْاالَّذِيَ
يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِلَّلَهِ فَيَسُبُّوْاالَّلَهَ عَدُوَّابِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَا
لِكَ زَيَّنّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ أِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فُيُنَبِّعُهُمْ
بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوُنَ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianllah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan
merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mreka kerjakan”.
Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok
pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan
fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok
kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada
kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus
penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita
yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk
berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok.
Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak
boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar
tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam
keadaan iddah.
Kelompok
ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara
sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang
masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.
Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata
produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung
6. Istishab
Istishab dalam arti lughoh meminta
ikut serta secara terus menerus. Menurut ulama’ ushul fiqh yaitu menghukumi
netapnya perkara atau tidaknya dalam masa sekarang atau masa yang akan datang. Karena tidak
adanya dalil atas perubahan perkara tersebut. Ketika ada perkara itu di
tetapkan dan diragukan di dalamnya maka kita menghukumi dengan tetapnya
perkara.
Contoh:
seseorang yang sedang memastikan bahwa dia telah berwudhu, dianggap tetap
wudhunya selama belum terjadi hal yang membuktikan batalnya wudhu.
BAB
III
Kesimpulan
Al-qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah Swt dengan bahasa Arab untuk melemahkan musuh walau dengan surat yang pendek yang
ditulis dalam mushaf dan yang diturunkan secara mutawatir yang pembacanya
bernilai ibadah yang di awali dengan surat al-fatihah dan di akhiri dengan
surat an-nas.
Sunnah menurut menurut ulama’ ushul fiqh
yaitu setiap sesuatu yang timbul dari Rasulallah SAW baik berupa perkataan atau perbuatan atau penetapan.
Sumber hukum
islam ketiga adalah akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha,
berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah
hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang
bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi
garis-garis hukum yang dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
ABD. Hakim, Atang dan Jaih Mubarak. 2000. Metodologi
Studi Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Studi Islam.
Bnadung: CV Pustaka Setia.
Atir, nuruddin. 2000. Al-ijtihatil ‘ammah wal ijtihad.
Damaskus: Darul kitabi
Effendi, Satria.
2014.
Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
EL Ghandur Achmad. 2006. Perspektif Hukum Islam, Terj.
el- ma’mun muhammad murai. Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Suhaili, wahbah.
1999.
Al-wajiz fii ushulil fiqh.
Damaskus: Darul Fikr.
[1]
Achmad El Ghandur, Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), 38.
[3]
Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 191.
[4]
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 88.
[5]
Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi, hal 35.
[6]
Nuruddin Fatir, Ijtihatil ‘Ammah wal Ijtihad. Hal 32.
[8]
Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi, hal 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar