Pages

Ads 468x60px

Labels

Minggu, 02 Agustus 2015

Hakikat Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikat adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata hakikat berasal dari kata pokok hak (al-haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). Sedangkan, hukum islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengn kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhbungan dengan amaliyah (perbuatan).


Allah menciptakan manusia untuk beribada kepada-Nya. Dalam rangka melaksanakan ibadat kepada Allah SWT, manusia telah diberi petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah tersebut dinamakan al-Din. Istilah al-Din disebut juga al-Millah atau al-Islam.
Agama diberikan Allah kepada manusia sama dari dulu sampai dengan akhir zaman. Dan untuk melaksanakan agama, selanjutnya Allah SWT, telah memberikan syari’at kepada manusia dibawah bimbingan dan pentunjuk Rasul-Nya.
Dalam menjalani kehidupannya, manusia diberi aturan-aturan yang dinamakan hukum islam. Aspek hukum dalam islam terkadang disebut fiqh, hukum dan juga syari’ah. Dan melalui makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang Hakikat Hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Al-qur’an sebagai sumber hukum islam
2. Sunnah sebagai sumber hukum islam
3. Ra’yu sebagai sumber hukum islam









BAB II
PEMBAHASAN

1.      Al-Qur’an
Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Swt dengan bahasa Arab untuk melemahkan  musuh walau dengan surat yang pendek yang ditulis dalam mushaf dan yang diturunkan secara mutawatir yang pembacanya bernilai ibadah yang di awali dengan surat al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas.
Al-Qur’an adalah laksana sinar yang memberikan penerangan terhadap kehidupan manusia, bagaikan pelita yang memberikan cahaya kearah hidayah dan ma’rifah.[1]
Kehujjahan Al-Qur’an
Al-qur’aul karim  yaitu wajib bagi semua untuk melakukan perbuatan sesuai petunjuk al-qur’anul karim karena sesungguhnya al qur’an itu yang benar cara menyampainyaannya dengan cara pasti kalam Allah dengan jalan yang pasti dan tidak keraguan didalamnya dan tidak ada keserupaan dan dalil yang pasti.[2]
Dalil al qur’an yang menunjukkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, Surat al-isra’ ayat 9
اِنَّ هَذَاالقُرْأَنَ يَهْدِىْ لِلَّتِىْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ا لمُؤْمِنِيْنَ الَّذِئْنَ يَعْمَلُوُنَ الصَّلِحَتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًاكَبِيْرًا
Sungguh al-qur’an ini meberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus mereka akan member kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa  mereka akan mendapat pahal yang besar. (qs. Al-isra’ ayat 9)”
Adapun alasan metode penetapan hukum menurut Umar Shihab, yaitu:
1. ( الاموربمقاصدها ) semua urusan sesuai dengan maksudnya.
2. ( المشقة تجلب التَيسير ) kesukaran mendatangkan perubahan, metode ini bersumber dari hadits Nabi يريدالله مكم اليسر ولايريدالله بكم العسر , adapun penyebab keringanan dalam pelaksanaan hukum tersebut ada 7 yaitu: perjalanan/safar, sakit, paksaan, lupa, ketidaktahuan, kesulitan yang sangat, Pengurangan.
3. ( ل الضرريزا ) kemudharatan harus ditinggalkan, contoh: dibolehkannya makan daging-daging ular jika seseorang berada di tengah hutan, untuk menghindari kematian yang disebabkan oleh kelaparan.
4. ( العادة محكمة ) Adat dapat ditetapkan sebagai hukum, contoh: haid, balighnya seseorang, masa sedikitnya haid, nifas, thaharah dan lain sebagainya.
5. ( اليقين لايزال ) Suatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan, contoh : keraguan seseorang dalam sholat, apakah dia mengerjakan 3 rakaat atau 4 rakaat, tetapi ia yakin menjalankan 3 rakaat walaupun aslinya dia mengerjakan 4      rakaat, maka kesalahan tersebut dimaafkan.
Cara pengambilan hukum islam dari Al-Qur’an:
1.        Lafzhiyah yaitu pengambilan hukum islam dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Dari lafadz tersebut yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum yaitu lafadz yang mengandung:
a.         Amr (perintah), dibagi menjadi dua yaitu:
1)        Menunjukkan wajib, alasannya terdapat pada surat Al-A’raf ayat 12 
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلاَّ تَسْجُدُ اِذْ اَمَرْتُكَ
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada adam) diwaktu aku menyuruhmu?”
Dalam firman diatas bukan dimaksudkan bertanya (meminta penjelasan), tetapi menyatakan pencelaan terhadap iblis, karena tidak mau sujud tanpa halangan.
2)        Menunjukkan anjuran, suruhan atau perintah itu ada kalanya untuk keharusan (wajib), seperti shalat lima waktu dan ada kalanya untuk anjuran seperti shalat dhuha adalah anjuran.
b.        Nahi (larangan), seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 11
وَاِذَاقِيْلَ لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِ الاَرْضِ. قَالُوْااِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
“Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi...”
c.         Khash dan al-Aam
Khash yaitu lafadz yang menunjukkan kepada sesuatu satuan tertentu, atinya lafadz itu hanya diperuntukkan bagi yang tertentu seperti Ali, laki-laki, perempuan.
Sedangkan aam yaitu lafadz yang mencakup seluruhnya yang dapat diterapkan kepada makna lafadz itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
d.        Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq yaitu suatu lafadz yang menunjukkan suatu hal tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan sperti firman Allah: “dan bebaskanlah hamba sahaya” (QS: Al-Mujadalah: 3). Dalam ayat tersebut tidak diterangkan apakah hamba sahaya yang mukmin atau hambasahaya yang bukan mukmin.
Sedangkan muqayyad yaitu suatu lafadz yang menunjukkan suatu hal dengan ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti firman Allah: “maka membebaskan seorang hamba sahaya yang beriman” (QS: An-Nisa’: 92). Disini yang dibebaskan adalah hamba sahaya yang beriman.
e.         Manthuq dan mafhum
Manthuq yaitu hukum yang ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri. Sedangkan, mafhum yaitu hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafadz itu sendiri, tetapi pemahaman terhadap lafadz tersebut.


Alasan Al-Qur’an sebagai sumber hukum: al-qur’an merupakan  sumber hukum Islam yang pertama. Disebut demikian karena Al-Qur’an merupakan pengambilan hukum yang pertama dan tempat rujukan yang pertama. Selain sumber hukum Islam yang pertama, Al-Qur’an juga merupakan sumber hukum Islam yang utama. Hukum-hukum yang terkadung di dalamnya merupakan wahyu Allah.
2.      Sunnah/ hadist
Sunnah menurut menurut ulama’ ushul fiqh yaitu setiap sesuatu yang timbul dari Rasulallah SAW baik berupa perkataan  atau perbuatan atau penetapan.
Dasar berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dengan berpegang pada A-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna dzahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada  zahir Al-Qur’an. (sunnah yang dimaksud adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
Kehujjahan As-Sunnah
Nabi adalah seorang Rasul yang ma’shum (terjaga dari segala perbuatan hina, dosa dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allah dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang Rasul.[3]
Alasan umat Islam berpegang pada hadits karena hadis berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal serta memberikan persyaratan taqyid terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Ia juga berfungsi mengkhususkan terhadap ayat-ayart yang bersifat umum.[4] Selain itu memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Macam- macam sunnah ada tiga:
1.      Sunnah qauliyah yaitu yang di maksut hadist qauliyah sebagaimana sabda Rasulallah SAW.
Seperti: Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan bahwa tidak boleh melakukan kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan kemudharatan.
2.      Sunnah fi’liyah yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Rasulallah SAW seperti melaksanakan sholat lima waktu.
3.      Sunnah taqririyah yaitu ketetapan yang telah di tetapkan oleh Nabi Muhammad atau dengan cara Nabi Muhammad diam.
Seperti : dimasa Rasulallah ada dua orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan sholat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan sholat. Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu sholat masih berlanjut. Lalu salah seorang diantara keduanya mengulangi sholatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka melaporkan hal itu kepada Rasulallah, beliau membenarkan kedua peraktik tersebut.[5]
Macam-macam hadist di tinjau dari segi kualitas sanadnya:
1.      Hadist mutawatir
yaitu hadist yang diriwayatkan golongan banyak yang mana banyak itu tidak di mungkinkan berdusta dari sesamanya orang tersebut sampai ke ujung yang mengeluarkan hadist dan adanya orang yang mengeluarkan hadist itu tidak begitu banyak.
2.      Hadist ahad
Yaitu tahapan hadist atau tiap-tiap yang tidak sampai pada tingkatan hadist mutawatir gambaannya hadist ahad ini sanadnya satu.[6]
                        Macam-macam hadist ahad:
a.       Hadist masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan dengan tiga jalur perawi atau lebih namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir
b.      Hadist azis yaitu hadist yang diriwayatkan dengan dua jalur perawi.
c.       Hadist gharib yaitu hadist yang diriwayatkan hanya lewat satu perawi.
3. Al-Ra’yu (Akal Fikiran atau Ijtihad)  
Sumber hukum islam ketiga adalah akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu.[7]     Alasan Ijtihat digunakan sebagai sumber hukum islam:
Sebagaimana ketetapan Al-Qur’an tentang prinsip syura berarti mengakui pendapat yang diambil dalam permusyawaratan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Syura ayat 38:
 وَاَمَرَهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ.....
“... Sedang urusan-urusan mereka (diputuskan)dengan musyawarah antara mereka...
Tujuannya menggunakan ijtihat yaitu untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat islam disetiap zaman dan generasi yang berbeda.
Macam-macam Ar-ra’yu:
1.      Ijma’  yaitu menurut ulama’ ushul ialah sepakat orang yang  berijtihad dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya Nabi Muhammad dari masa ke masa atas dasar hukum syara’ dan adanya kesepakatan tersebut harus timbul dari orang-orang yang berijtihad yang mana kesepurnaan orag yang berijtihad itu ahli dalam berijtihad .
Jadi perkataan orang yang bodoh dan orang yang tidak ahli dalam mengeluarka hukum syariat itu tidak boleh di percaya atau diikuti. Dan adanya kesepakatan tersebut harus dari semua orang yang berijtihad jadi kalau ada ijma’ yang di tetapkan pada kesepakatannya lebih banyak orang berijtihad maka tidak di anggap.

Dasar hukum ijma’:
وَمَنْ يُشَاقِقألرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مأَ تَبَيَّنَ لَهُرالْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَى وَنُصَلِّهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“ barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran bagi nya dan mengikuti jalan yag bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”[8]
2.      Qiyas
Qiyas menurut lughoh artinya  menukur sesuatu dengan Sesutu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya .
Menurut ulama’ ushl fiqh yaitu meghubungkan  (menyatukan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya.
Sumber hukum qiyas:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْااَطِيْعُوْالّلَهَ وَاَطِيْعٌو الرَّسُوْلُ وأُولِى الأَّمْرِمِنْكُمْ فَأنِنْ تَنَا زَعْتُمْء فِيْ شَيْئٍ فَرَدُّوْهُ اِلَى اللَّهِ وَلرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوُنَ  بِاللَّهِ اللَّ خِيْرِ ذَالِكَ خُيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيَلاً
Hai orang orag yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat ttentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnah nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi mu) dan lebih baik akibatnya”

3.      Istihsan
Istihsan dalam arti lughoh memegang sesuatu yang bagus. Sedangkan  menurut istilah ulama ushul fiqh yaitu meninggalkan perumpaan yang samar atas perumpaan yang jelas dengan dalil /pengecualian bagian hukum dari asal keseluruhan atau undang-yang umum uang didirikan atas dalil yang khusus yang mana semua itu menjadi tuntutan.
Contoh: menghukumi sucinya binatang buas, burung gagak, dan burung elag dan burung raja wali.
Alasan metode tersebut di jadikan sebagai sumber hukum sesuai firman Allah surat Az-zumar 39/18:
اَلَّذِيْنَ يَسْتَعُوْنَ القَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَ وَألَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ اُولُوالْلبَابِ
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mepunyai akal.
Ayat tersebut, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.

Sabda Rasul
مارأهالمسلمون حسنا فهو عندالله حسن
“apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam, adalah juga baik di sisi Allah (HR. Ahmad dalam kitab Sunnah)
Hadist tersebut menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.

4.      Urf
Urf adalah setiap sesuatu yang di biasakan oleh manusia dan menekuninya baik dari pekerjaan yang umum diantara mereka semua. [9]
Contoh: perbuatan atau kebiasaan di suatu msyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti: garam, tomat dan gula, dengan hanya Menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
Ulama’ yang menyepakati urf yaitu  kalangan hanafiyah dan malikiyah dan yang menolak urf yaitu kalangan syafiiya dan hanbali.
Dalil urf sebagai sumber hokum surat al-A’Rof ayat 199
خُذِاعَفْوَ وَأْمُرْ بِلْلعُرْفِ وَأَعْعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-urfi),serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dalam proses pengambilan hukum ‘urf/adat Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama Figh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum.
Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam Figh, al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum.

5.      Syadzuz dzari’ah
Yaitu hukum-hukum yang di syariatkan pada umat terdahulu atas ajaran nabi. Seperti ajarannya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa dan Isa AS.
Contoh: sholat jumat merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan kegiatan untuk melaksanakan sholat jumat wajib pula hukum nya.
Dasar hukumnya  surat al-an’am ayat 108

وَلاَ تَسُبُوْاالَّذِيَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِلَّلَهِ فَيَسُبُّوْاالَّلَهَ عَدُوَّابِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَا لِكَ زَيَّنّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ أِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فُيُنَبِّعُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوُنَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianllah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mreka kerjakan”.
Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung

6.      Istishab
Istishab dalam arti lughoh meminta ikut serta secara terus menerus. Menurut ulama’ ushul fiqh yaitu menghukumi netapnya perkara atau tidaknya dalam masa sekarang  atau masa yang akan datang. Karena tidak adanya dalil atas perubahan perkara tersebut. Ketika ada perkara itu di tetapkan dan diragukan di dalamnya maka kita menghukumi dengan tetapnya perkara.
Contoh: seseorang yang sedang memastikan bahwa dia telah berwudhu, dianggap tetap wudhunya selama belum terjadi hal yang membuktikan batalnya wudhu.
           
     



BAB III
Kesimpulan

Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Swt dengan bahasa Arab untuk melemahkan  musuh walau dengan surat yang pendek yang ditulis dalam mushaf dan yang diturunkan secara mutawatir yang pembacanya bernilai ibadah yang di awali dengan surat al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas.
Sunnah menurut menurut ulama’ ushul fiqh yaitu setiap sesuatu yang timbul dari Rasulallah SAW baik berupa perkataan  atau perbuatan atau penetapan.
Sumber hukum islam ketiga adalah akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu.




DAFTAR PUSTAKA

ABD. Hakim, Atang dan Jaih Mubarak. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT   Remaja Rosdakarya.
Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Studi Islam. Bnadung: CV Pustaka Setia.
Atir, nuruddin. 2000.  Al-ijtihatil ‘ammah wal ijtihad. Damaskus: Darul kitabi
Effendi, Satria. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
EL Ghandur Achmad. 2006. Perspektif Hukum Islam, Terj. el- ma’mun muhammad     murai.  Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Suhaili, wahbah. 1999. Al-wajiz fii ushulil fiqh. Damaskus: Darul Fikr.





[1] Achmad El Ghandur, Perspektif Hukum Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), 38.
[2]  Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi,  (Damaskus: Darul Fikr, 1999), 24.
[3] Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009),  191.
[4] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 88.
[5] Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi,  hal 35.

[6] Nuruddin Fatir, Ijtihatil ‘Ammah wal Ijtihad. Hal 32.

[8] Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi,  hal 46.
[9] Wahbah suhaili, al-wajiz fii ushulil fiqhi,  hal 97.

Tidak ada komentar:

 
 
Blogger Templates