BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ulumul Qur’an adalah
sekumpulan ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an. Untuk dapat memahami kalam
Allah, sejalan dengan penjelasan Rasulullah saw, serta pendapat yang dikutip
sahabat, dan tabi’in dari Nabi tentang kandungan al-Qur’an maka salah satu
unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan adalah ilmu ushul Fiqh. Salah
satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekat dalam mengkaji islam adalah
ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan
hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil yang
rinci. Melalui kaidah-kaidah itu akan diketahui nash-nash syara’ dan
hukum-hukumnya. Diantara kaidah-kaidah yang penting untuk kita ketahui adalah
lafaz ‘am dan lafaz khas.
Makalah ini akan akan membahas
lafaz ‘am dan lafaz khas secara lebih mendalam. Agar kita mengetahui secara
mendalam tentang lafaz ‘am dan lafaz khas tersebut.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian lafaz ‘amm dan khas?
2. Apa yang dimaksud dengan lafaz umum dan lafaz
mutlak?
3. Macam-macam ‘amm dan mukhasis?
4. Bagaimana mekanisme ke-’umum-an dan
mekanisme ke-khusush-an?
5. Apa mutlak dan muqayyat itu?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Lafaz ‘Amm dan Khas
‘Am menurut bahasa artinya
merata, sedangkan menurut istilah ‘am adalah lafaz yang memiliki pengertian
umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafaz itu. Dengan pengertian
lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu
yang terkandung dalam kata itu tanpa ada batasnya. Misalnya: lafal laki-laki
(ar-rijal), berarti mencakup semua laki-laki tanpa kecuali. Sebagian besar
ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat sighat-sighat tertentu yang secara
hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum. Untuk mendukung pendapatnya ini
mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma’iyah,
dan ma’nawiyah.[1]
1. Di antara
dalil-dalil nassiyah (tekstual) ialah firman Allah:
وَناَدى نُوْحٌ
رَّبَّهُ فَقاَلَ رَبِّ أِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى وَأِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ
وَأَنْتَ أَهْكَمُ الْحَا كِمِيْنَ، قَا لَ يَانُوْحُ أِنَّهُ لَيْسَ مِنْ
أَهْلِكَ
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata: ‘Ya Tuhan-ku,
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim paling adil. Allah
berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya ia
tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (Hud
[11]: 45-46)
Aspek yang dijadikan dalil
dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadapkan kepada Allah dengan permohonan
tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya:
أِنَا مُنَجُّوْكَ
وَأَهْلَكَ
“Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu”
(al-’Ankabut [29]:33).
Dalam ayat ini Allah
membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengan pernyataan
yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idhafah
(penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna umum maka
jawaban Allah tersebut tidak benar.[2]
2. Di antara
dalil-dalil ijma’iyah ialah ijma’ (konsensus) sahabat bahwa firman Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى
فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduannya seratus
kali dera” (an-Nur: 2)
3. Diantara
dalil-dalil ma’nawiyah (kontekstual) ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami
dari penggunaan lafaz-lafaz tertentu yang menunjukan demikian. Andai kata
lafaz-lafaz tersebut tidak untuk dibuat untuk makna umum tentu akan sukar bagi
akal memahaminya. Misalnya lafaz-lafaz syarat, istifahamm
(pertanyaan), dan mausul.
‘Amm juga disebut
sebagai lafaz yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh obyek-obyeknya
seperti:
أِنَّ الأِنْسَانَ
لَفِىْ خُسْرٍ
“sesungguhnya
manusia itu dalam kerugian”
Lafaz insan adalah
umum, yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang.
Maka apabila lafaz
itu di uraikan ia pun kembali kepada seluruh orang-orang yang dimaksud oleh
pengetian itu yang ditetapkan baginya kata “insan” agar hukumnya menunjukkan
begini.[3]
Bentuk-bentuk
keumuman (sighot umum):
Bentuk-bentuk
keumuman ialah isim-isim syarat dan istifham (kata tanya) dan maushul (kata
penghubung) dan kata yang dibentuk dengan “al” untuk jenis dan nakiroh dalam
bentuk menyangkal dan jama’ yang dibentuk dengan “laam” dan idhofah (tata
bahasa).[4]
Dalil keumuman:
Termasuk dalil
keumuman ialah ijma’ sahabat, karena mereka seluruhnya memakai kata-kata
Al-Kitab dan Sunnah dengan pengertian umum kecuali ada dalil yang
mengkhususkannnya.
Maka merekapun
mengamalkan firman Allah SWT:
يُوْ صِيْكُمُ
اللّهُ فِىْ أَوْلاَدِكُمْ
Artinya: Allah
berwasiat kepadamu mengenai anak-anakmu.
Jumhur ulama’
berdalil bahwa sebagian besar lafaz-lafaz umum yang ada dimaksudkan terhadap
sebagian objek. Banyaknya maksud terhadap sebagian objek dengan keumuman
menyebabkan kemungkinan dalam salah satu bagian “umum” maka ia menjadi dalalah
dhonniyah.
Sebagian ulama’
Hanafi menjawab masalah ini:
Sesungguhnya kami
melarang banyaknya maksud terhadap sebagian objek yang asalnya adalah ‘amm
(umum), karena hal itu hanya terjadi jika berkaitan dengan qarinah yang
menunjukkan maksud ini berupa lafaz atau lainnya dan ini sedikit sekali.[5]
Ulama Hanafi
berdalil bahwa lafaz ‘amm (umum) telah nyata penetapannya bagi suatu objek,
kemudian terputus dalam penggunaannya dalam objeknya ketika dimutlakkan, yakni
dimana tidak terdapat qorinah baginya yang mengalihkannya dari hakikatnya,
karena tidak boleh lafaz itu dipergunakan secara majaz kecuali dengan qarinah
itu.
Dalam hal itu
seperti al-khos (kekhususan), maka ia menunjukkan objeknya yang hakiki secara
pasti bilamana tidak terdapat qorinah yang mengalihkannya dari makna itu dan semata-mata kemungkinan yang
tak ada dalil atasnya tidaklah bisa berpengaruh dalam lafaz-lafaz.[6]
Akibat dari
perbedaan ini tampak bila terdapat pertentangan antara keumuman dan kekhususan
seperti bila seorang berkata kepada orang yang harus mematuhinya: berilah si
zaid.
Kemudian ia
berkata pula: jangan berikan kepada seorang pun. Barangsiapa mengatakan bahwa
masing-masing dari keumuman dan kekhususan adalah qath-ie dalam dalalah atas
objeknya, ia pun mengamalkan yang datang belakangan diantara keduannya, baik
kekhususan ataupun keumuman.
Sedangkan khas (khusus) adalah lawan kata ‘Amm,
karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhshish
adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz ‘Amm. Dan mukhasis
(yang mengkhususkan) terkadang muttasil (antara ‘Amm dengan mukhasis
tidak dipisah) oleh sesuatu hal, tetapi juga ada kalanya munfashil,
kebalikan dari muttasil.[7]
Muttashil ada lima macam:[8]
a. Istitsna’ (pengecualian), seperti dalam “Walladzina
yarmunal muhshanati tsumma lam ya’tu bi arba’ati syuhadaa’a fajliduhum
tsamanina jaldatan wala taqbalu lahum syahadatan abada, wa ulaa’ika humul
fasiqun, illalladzina tabu...” (An-Nur:4-5)
b. Menjadi sifat, misalnya dalam “Wa
rabaa’ibukumul-lati fi hujurikum min nisaa’ikumul-lati dakhaltum bihinna”
(An-Nisaa’: 23), lafaz “allati dakholtum bihinna” adalah sifat bagi lafaz “nisa ‘ikum”.
maksudnya anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suaminya, dan halal bila belum
menggaulinya.
c. Menjadi syarat, misalnya dalam “kutiba
‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khairan al-washiyatu lil
wakidaini wal aqrabina bil ma’ruf haqqan ‘alal muttaqin” (Al-Baqarah:180).
Lafadz “in taraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam
wasiat.
d. Sebagai ghayah (batas
sesuatu), seperti dalam “wala tahliqu ru ‘usakum hatta yablughal hadyu
mahillah” (Al-Baqarah:196 dan 222).
e. Sebagai badal ba’dh min
kull (pengganti sebagian dari keseluruhan). Misalnya dalam “wa lillahi
‘alan-nasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila” (Ali-Imran:97). Lafadz
“man istatha’a” adalah badal dari “an-nas,” maka kewajiban haji
hanya khusus bagi orang yang mampu.
Syarat-syarat
pengecualian ada tiga: [9]
Pertama: Kesinambungan
(Ittishol)
Maka barang siapa
berkata: “Para pelajar mengambil,” kemudian berkata setelah sesaat, “kecuali
Muhammad” tidaklah ia dianggap kalam.
Kedua: Hendaklah
hal yang dikecualikan tercakup di dalamnya.
Bila seseorang
berkata: Si Fulan mempunyai sepuluh kecuali sepuluh, maka lazimlah pemilikan
sepuluh, karena ia menghilangkan pengakuan sedang penngakuan tidak boleh
dihilangkan, akan tetapi disempurnakan dengan sesuatu yang merupakan bagian
dari pembicaraan (kalam).
Ketiga: Dan pendapat ulama Hanafi khususnya ialah
bahwa haruslah kata/hal yang dikecualikan termasuk dalam kata/hal yang
mengecualikan dengan tujuan bukan secara tidak langsung, karena pengecualian
adalah tindakan kata sehingga terbatas pada yang dimaksud oleh kata.
2.2. Lafaz Umum dan Lafaz Mutlak
Lafaz umum merupakan sifat
yang ada pada lafaz itu sendiri, karena ia adalah petunjuk lafaz atas
mencakupnya pada semua satuannya. Suatu lafaz, jika menunjukkan pada satu orang
seperti perempuan, atau dua orang perempuan, beberapa perempuan, kelompok,
seratus, seribu, maka lafaz tersebut bukanlah lafaz umum, akan tetapi lafaz
mutlak.
Perbedaan lafaz umum dan lafaz
mutlak, adalah bahwa lafaz umum itu mencakup semua satuan-satuannya, sedangkan
lafaz mutlak hanya menunjukkan kepada satuan-satuan, tidak semuanya.
Ulama berbeda pendapat tentang
makna umum, setidaknya ada tiga bentuk sighah umum menurut jumhur ulama’:
a.
Sighah ‘am terbentuk paling sedikitnya adalah tiga,
mereka ulama’ mengatakan lafaz
tersebut dikualifikasikan untuk menguatkan ma’na khusus.
b.
Sighah ‘am yang dibentuk untuk mencakup semua
satuan-satuannya sekaligus, mereka
ulama’ menyebutkan kualifikasi untuk menguatkan ma’na umum.
c.
Sighah yang disandardar pada sesuatu yang bermakna
mencakup semua, atau disandarkan pada sesuatu yang bermakna mengumpulkan, atau
meringkas sesuatu yang paling sedikit yang memuat sifat dan bilangan. Hal ini
sesuai dengan petnyataan yang dipaparkan
oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa Fi Im al-Usul.
2.3. Macam-macam ‘Amm dan Mukhasis
2.3.1. Macam-macam ‘Amm
Lafaz ‘Am terbagi
menjadi tiga macam:
a. `Am yang tetap
dalam keumumannya (al-’am al baqi ’ala ‘umumih). Qadi Jalaluddin
al-Balqini mengatakan, ‘am seperti jarang ditemukan, sebab tidak satupun lafaz
‘am kecuali didalamnya terdapat takhsis, tetapi Zarkasyi dalam al-Burhan
mengemukakan, ‘am demikian banyak terdapat dalam Qur’an. Misalnya:
وَاللّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍعَلِيْمٌ
b. ‘Am yang dimaksud khusus (al-’am
al-murad bihi al-khusus). Misalnya firman
Allah:
الَّذِيْنَ قاَلَ لَهُمُ
النَّاسُ أِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْالَكُمْ
c. ‘Am yang dikhususkan (al-’am al-makhsus).
‘Am macam ini banyak ditemukan di al-Qur’an. ‘Amm macam ini banyak ditemukan
dalam Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Diantaranya adalah:
وَكُلُوْوَاشْرَبُوْا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
Perbedaan antara al-’am
al-murad bihi al-khusus dengan al-’am al-makhsus
dapat dilihat dari
beberapa segi. Antara lain:
a. Yang pertama tidak
dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak
semula, baik dari segi cakupan makna lafaz maupun dari hukumnya.
b. Yang pertama
adalah majaz secara pasti, karena ia telah beralih dari makna aslinya
dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang yang kedua,
menurut pendapat yang lebih shahih, adalah hakikat.
c. Qarinah bagi yang
pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah, sedang
qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah.
2.3.2. Macam-macam
Mukhasis
Mukhasis
terbagi menjadi 2 macam:
a. Mukhasis muttasil atau
mukhasis yang bersambung
Yaitu apabila makna suatu
dalil berhubungan erat atau bergantung pada kalimat umum sebelumnya. Mukhasis
muttasil dibagi menjadi lima,yaitu:
1.
Pengecualian (istisna)
2.
Syarat
3.
Sifat
4.
Kesudahan
5.
Sebagian ganti
keseluruhan
b.
Mukhasis munfasil
Yaitu dalil yang umum
atau makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya.
Masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tapi terpisah. Ada
beberapa macam mukhasis mufasil, yaitu:
1.
Kitab ditakhsis dengan
kitab
2.
Kitab ditakhsis oleh
sunah
3.
Sunah ditakhsis dengan
kitab
4.
Sunah ditakhsis oleh
sunah
5. Mentakhsis dengan qiyas
2.4. Mekanisme Ke-’umum-an dan Mekanisme Ke-khusush-an
2.4.1. Mekanisme
Ke-’umum-an
Ulama ushul merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai makna
umum, dan mereka membatasinya sebagai berikut:[10]
1.
Kata “kullu”,
apakah ia menjadi permulaan kalimat atau pun muncul sebagai keterangan.
2.
Semua kata penghubung, asma’
al-maushul (relatif pronoun).
3.
Kata ayy, ma, dan man
(mana/apa/siapa saja) baik sebagai kata syarat kata tanya maupun sebagai kata
penghubung.
4.
Kata jama’ yang di
ma’rifatkan baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) atau pun dengan kasus
idhofah (possessive).
5.
Kata benda kategori yal
(isim jins) yang dima’rifatkan baik dengan kasus idhofah maupun dengan partikel
alif-lam.
6.
Kata benda tak tertentu
(nakiroh) dalam konteks larangan, negasi dan syarat (condisional) dan dalam
konteks pemberian anugerah.
2.4.2. Mekanisme Ke-khusush-an
Jika
mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa perangkat kebahasaan maka masih
terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat mengalihkan yang umum
menjadi yang khusus, makna umum menjadi makna khusus. Pengertian “ke-khusush-an”
secara bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal, seperti yang dikatakan
oleh ahli fiqh: pertama, kata dengan format umum, namun maknanya
tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut, tetapi maknanya
khusus. Maka khusus semacam ini dapat dipahami dari konteks struktur teks.
Inilah yang disebut ulama’ fiqh sebagai “amm, namun maksudnya khashsh”.
Kedua, kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi hukum
(pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata
tersebut). Jenis yang kedua ini di sebut oleh ulama dengan ‘amm tang di-takhsish.[11]
Yang
membedakan antara “’amm namun maksudnya khashsh” dengan “’amm
yang di-takhsish” adalah perbedaan semantis yang pada dasarnya dapat
ditentukan melalui beberapa sudut:[12]
Pertama, bahwa makna kata dalam tipe pertama tidak menyeluruh meliputi semua
bagian yang tercakup dalam pengertian kata tersebut, sementara makna kata pada
tipe kedua menyeluruh.
Kedua, dari segi hukum (pesan) yang terkandung, hukum pada tipe pertama hanya
dapat diterapkan pada makna khusus dari kata, sementara hukum pada tipe kedua
tidak sejalan dengan makna katanya sebab kata tersebut umum, namun hukumnya
khusus.
Ketiga, bahwa makna kata pada tipe pertama metaforis, sementara makna kata pada
tipe kedua hakiki (makna sebenarnya).
Keempat, bahwa konteks takhshish pada tipe pertama bersifat rasional,
sementara konteks pada tipe kedua bersifat verbal.
Kelima, bahwa konteks nasional pada tipe pertama berkaitan dengan ujaran,
sementara konteks verbal pada tipe kedua dapat berkaitan (berada dalam satu
teks) dan dapat pula terpisah.
Kebolehan
takhsis:[13]
Al-Ghazali
berkata: kami tidak mengetahui perbedaan antara mereka yang berpendapat adanya
keumuman dalam kebolehan mengkhususkannya (takhsis) dengan dalil, baik dalil
akal atau pendengaran atau lainnya. Bagimana hal itu diingkari dengan adanya
kesepakatan atas pengkhususan firman-firman Allah SWT yang berikut:
Ia
menciptakan segala sesuatu خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ
Engkau
menghancurkan segala sesuatu وَتُدَمِّرُكُلَّ شَىْءٍ
Aku
diberi segala sesuatu وَأُوْتِيْتُ مَنْ كُلِّ شَىْءٍ
Bunuhlah
orang-orang musyrik أُقْتُلُو االْمُشْرِكِيْنَ
Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
Pelaku
zina perempuan dan pelaku zina laki-laki وَالزَّانِيَةُوَالزَّانِى
Allah
berpesan kepada kamu mengenai anak-anakmu يُوْصِيْكُمُ اللّهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ
Dan
dalam hasil pertanian yang diairi dengan air hujan
zakatnya
adalah sepersepuluh وَفِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُالْعُشُرُ
2.5. Mutlaq dan Muqayyad
Pada bagian ini kita
membicarakan tentang mekanisme-mekanisme kekhususan yang terpisah (munfashilah).
Dengan kata lain, kita membicarakan hubungan antar bagian teks satu sama lain
dari sudut pandang keumuman dan kekhususan, yaitu hubungan yang disebut ulama’
fiqh dengan “mutlak dan muqayyad”. Jika sebagian teks memiliki makna umum maka
sebagian yang lain terkadang men-takhshish makna umum tersebut. Dengan
kata lain, apabila teks yang mutlak, ada teks lain yang membatasi kemutlakan
teks tersebut. Ini berarti bahwa takhshish terkadang dapat dilakukan
dengan menghadapkan teks-teks dalam keseluruhan teks yang umum atau antara
Al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan lainnya. Teks yang mutlak dalam teks
apapun tetap dalam status kemutlakan dan keumumannya selama tidak ada teks lain
yang membatasi kemutlakannya itu. Dasar yang digunakan ulama’ ushul adalah bahwa
“Al-Qur’an bagaikan satu ayat”. Kaidah bahwa mutlak dikembalikan ke yang
muqayyad, dirumuskan sebagai berikut:[14]
“Jika terdapat satu dalil yang membatasi (taqyid) yang mutlak
maka dalil tersebut dijadikan muqayyad, dan jika tidak ada maka yang
mutlak tetap pada kemutlakannya, dan yang muqayyad tetap pada taqyid-nya
sebab Allah berbicara kepada kita dengan bahasa Arab. Patokannya adalah bahwa
jika Allah memutuskan sesuatu dengan suatu sifat atau syarat kemudian muncul
hukum yang lain secara mutlak maka harus dipertimbangkan, jika ia tidak
memiliki dasar yang dapat dijadikan rujukannya kecuali hukum yang muqayyad
tersebut maka ia harus dibatasi dengan yang muqayyad tersebut, dan jika
ia memiliki dasar yang lainnya maka pengembalikannya pada salah satunya tidaklah
lebih baik daripada yang satunya lagi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah
dibahas dalam bab sebelumnya akhirnya kami dapat menarik kesimpulan bahwa ‘Amm adalah kata yang
memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu
tanpa ada batasnya. Misalnya: lafal laki-laki (ar-rijal), berarti mencakup
semua laki-laki tanpa kecuali. Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam
bahasa terdapat sighat-sighat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk
menunjukkan makna umum. Sedangkan Khas adalah lawan dari ‘amm ia tidak
menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.
Perbedaan lafaz umum dan lafaz
mutlak, adalah bahwa lafaz umum itu mencakup semua satuan-satuannya, sedangkan
lafaz mutlak hanya menunjukkan kepada satuan-satuan, tidak semuanya.
Pada lafaz ‘amm terdiri dari
tiga macam yang meliputi: `Am yang tetap dalam keumumannya (al-’am al baqi ’ala
‘umumih), ‘Am yang dimaksud khusus (al-’am al-murad bihi al-khusus), ‘Am yang
dikhususkan (al-’am al-makhsus). ‘Am macam ini banyak ditemukan di al-Qur’an.
Sendang dalam mukhasis hanya dibagi menjadi dua bagian yaitu: mukhasis muttasil atau mukhasis yang
bersambung dan mukhasis munfashil.
Mekanisme
keumuman yaitu sebagai berikut: Kata “kullu”, apakah ia menjadi
permulaan kalimat atau pun muncul sebagai keterangan. Semua kata penghubung, asma’
al-maushul (relatif pronoun). Kata ayy, ma, dan man
(mana/apa/siapa saja) baik sebagai kata syarat kata tanya maupun sebagai kata
penghubung. Kata jama’ yang di ma’rifatkan baik dengan memakai partikel
alif-lam (al...) atau pun dengan kasus idhofah (possessive). Kata benda
kategori yal (isim jins) yang dima’rifatkan baik dengan kasus idhofah maupun
dengan partikel alif-lam. Kata benda tak tertentu (nakiroh) dalam konteks larangan,
negasi dan syarat (condisional) dan dalam konteks pemberian anugerah.
Yang
dimaksud dengan mutlak yaitu suatu lafal tertentu yang tidak terikat oleh
batasan lafal yang mengurangi keumumannya. Sedangkan muqayyad adalah suatu
lafal tertentu yang dibatasi oleh batasan lafal lain yang mengurangi
keumumannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: PT.
Pustaka Litera AntarNusa, 2011.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2011.
Biek, Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori. Terjemah Ushul Fiqih. Pekalongan:
Raja Murah, 1982.
Suparta, Mundzier dan Djedjen Zainuddin. Fiqih. Semarang: Karya
Toha Putra, 2012.
Zaid, Nasr hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar