Pages

Ads 468x60px

Labels

Minggu, 02 Agustus 2015

Makalah Study Islam Baru

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ulumul Qur’an adalah sekumpulan ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an. Untuk dapat memahami kalam Allah, sejalan dengan penjelasan Rasulullah saw, serta pendapat yang dikutip sahabat, dan tabi’in dari Nabi tentang kandungan al-Qur’an maka salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan adalah ilmu ushul Fiqh. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekat dalam mengkaji islam adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah itu akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukumnya. Diantara kaidah-kaidah yang penting untuk kita ketahui adalah lafaz ‘am dan lafaz khas.


Makalah ini akan akan membahas lafaz ‘am dan lafaz khas secara lebih mendalam. Agar kita mengetahui secara mendalam tentang lafaz ‘am dan lafaz khas tersebut.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian lafaz ‘amm dan khas?
2. Apa yang dimaksud dengan lafaz umum dan lafaz mutlak?
3. Macam-macam ‘amm dan mukhasis?
4. Bagaimana mekanisme ke-’umum-an dan mekanisme ke-khusush-an?
5. Apa mutlak dan muqayyat itu?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Lafaz ‘Amm dan Khas
‘Am menurut bahasa artinya merata, sedangkan menurut istilah ‘am adalah lafaz yang memiliki pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafaz itu. Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu tanpa ada batasnya. Misalnya: lafal laki-laki (ar-rijal), berarti mencakup semua laki-laki tanpa kecuali. Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat sighat-sighat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum. Untuk mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma’iyah, dan ma’nawiyah.[1]
1. Di antara dalil-dalil nassiyah (tekstual) ialah firman Allah:
وَناَدى نُوْحٌ رَّبَّهُ فَقاَلَ رَبِّ أِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى وَأِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَهْكَمُ الْحَا كِمِيْنَ، قَا لَ يَانُوْحُ أِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ           
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata: ‘Ya Tuhan-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.      Dan Engkau adalah Hakim paling adil. Allah berfirman: ‘Hai Nuh,   sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (Hud [11]: 45-46)
Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadapkan kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya:
أِنَا مُنَجُّوْكَ وَأَهْلَكَ
“Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu” (al-’Ankabut [29]:33).
Dalam ayat ini Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idhafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna umum maka jawaban Allah tersebut tidak benar.[2]
2. Di antara dalil-dalil ijma’iyah ialah ijma’ (konsensus) sahabat bahwa firman                                    Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduannya seratus kali dera” (an-Nur: 2)
3.     Diantara dalil-dalil ma’nawiyah (kontekstual) ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafaz-lafaz tertentu yang menunjukan demikian. Andai kata lafaz-lafaz tersebut tidak untuk dibuat untuk makna umum tentu akan sukar bagi akal memahaminya. Misalnya lafaz-lafaz syarat, istifahamm (pertanyaan), dan mausul.
‘Amm juga disebut sebagai lafaz yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh obyek-obyeknya seperti:
أِنَّ الأِنْسَانَ لَفِىْ خُسْرٍ
“sesungguhnya manusia itu dalam kerugian”
Lafaz insan adalah umum, yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang.
Maka apabila lafaz itu di uraikan ia pun kembali kepada seluruh orang-orang yang dimaksud oleh pengetian itu yang ditetapkan baginya kata “insan” agar hukumnya menunjukkan begini.[3]
Bentuk-bentuk keumuman (sighot umum):
Bentuk-bentuk keumuman ialah isim-isim syarat dan istifham (kata tanya) dan maushul (kata penghubung) dan kata yang dibentuk dengan “al” untuk jenis dan nakiroh dalam bentuk menyangkal dan jama’ yang dibentuk dengan “laam” dan idhofah (tata bahasa).[4]
Dalil keumuman:
Termasuk dalil keumuman ialah ijma’ sahabat, karena mereka seluruhnya memakai kata-kata Al-Kitab dan Sunnah dengan pengertian umum kecuali ada dalil yang mengkhususkannnya.
Maka merekapun mengamalkan firman Allah SWT:
يُوْ صِيْكُمُ اللّهُ فِىْ أَوْلاَدِكُمْ
Artinya: Allah berwasiat kepadamu mengenai anak-anakmu.
Jumhur ulama’ berdalil bahwa sebagian besar lafaz-lafaz umum yang ada dimaksudkan terhadap sebagian objek. Banyaknya maksud terhadap sebagian objek dengan keumuman menyebabkan kemungkinan dalam salah satu bagian “umum” maka ia menjadi dalalah dhonniyah.
Sebagian ulama’ Hanafi menjawab masalah ini:
Sesungguhnya kami melarang banyaknya maksud terhadap sebagian objek yang asalnya adalah ‘amm (umum), karena hal itu hanya terjadi jika berkaitan dengan qarinah yang menunjukkan maksud ini berupa lafaz atau lainnya dan ini sedikit sekali.[5]
Ulama Hanafi berdalil bahwa lafaz ‘amm (umum) telah nyata penetapannya bagi suatu objek, kemudian terputus dalam penggunaannya dalam objeknya ketika dimutlakkan, yakni dimana tidak terdapat qorinah baginya yang mengalihkannya dari hakikatnya, karena tidak boleh lafaz itu dipergunakan secara majaz kecuali dengan qarinah itu.
Dalam hal itu seperti al-khos (kekhususan), maka ia menunjukkan objeknya yang hakiki secara pasti bilamana tidak terdapat qorinah yang mengalihkannya dari  makna itu dan semata-mata kemungkinan yang tak ada dalil atasnya tidaklah bisa berpengaruh dalam lafaz-lafaz.[6]
Akibat dari perbedaan ini tampak bila terdapat pertentangan antara keumuman dan kekhususan seperti bila seorang berkata kepada orang yang harus mematuhinya: berilah si zaid.
Kemudian ia berkata pula: jangan berikan kepada seorang pun. Barangsiapa mengatakan bahwa masing-masing dari keumuman dan kekhususan adalah qath-ie dalam dalalah atas objeknya, ia pun mengamalkan yang datang belakangan diantara keduannya, baik kekhususan ataupun keumuman.
Sedangkan khas (khusus) adalah lawan kata ‘Amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz ‘Amm. Dan mukhasis (yang mengkhususkan) terkadang muttasil (antara ‘Amm dengan mukhasis tidak dipisah) oleh sesuatu hal, tetapi juga ada kalanya munfashil, kebalikan dari muttasil.[7]
Muttashil ada lima macam:[8]
a. Istitsna’ (pengecualian), seperti dalam “Walladzina yarmunal muhshanati tsumma lam ya’tu bi arba’ati syuhadaa’a fajliduhum tsamanina jaldatan wala taqbalu lahum syahadatan abada, wa ulaa’ika humul fasiqun, illalladzina tabu...” (An-Nur:4-5)
b. Menjadi sifat, misalnya dalam “Wa rabaa’ibukumul-lati fi hujurikum min nisaa’ikumul-lati dakhaltum bihinna” (An-Nisaa’: 23), lafaz “allati dakholtum bihinna” adalah sifat         bagi lafaz “nisa ‘ikum”. maksudnya anak perempuan istri yang telah digauli itu          haram dinikahi oleh suaminya, dan halal bila belum menggaulinya.
c. Menjadi syarat, misalnya dalam “kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khairan al-washiyatu lil wakidaini wal aqrabina bil ma’ruf haqqan ‘alal muttaqin” (Al-Baqarah:180). Lafadz “in taraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat.
d. Sebagai ghayah (batas sesuatu), seperti dalam “wala tahliqu ru ‘usakum hatta yablughal hadyu mahillah” (Al-Baqarah:196 dan 222).
e. Sebagai badal ba’dh min kull (pengganti sebagian dari keseluruhan). Misalnya dalam “wa lillahi ‘alan-nasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila” (Ali-Imran:97). Lafadz “man istatha’a” adalah badal dari “an-nas,” maka kewajiban haji hanya khusus bagi orang yang mampu.
Syarat-syarat pengecualian ada tiga: [9]
Pertama: Kesinambungan (Ittishol)
Maka barang siapa berkata: “Para pelajar mengambil,” kemudian berkata setelah sesaat, “kecuali Muhammad” tidaklah ia dianggap kalam.
Kedua:     Hendaklah hal yang dikecualikan tercakup di dalamnya.
Bila seseorang berkata: Si Fulan mempunyai sepuluh kecuali sepuluh, maka lazimlah pemilikan sepuluh, karena ia menghilangkan pengakuan sedang penngakuan tidak boleh dihilangkan, akan tetapi disempurnakan dengan sesuatu yang merupakan bagian dari pembicaraan (kalam).
Ketiga:   Dan pendapat ulama Hanafi khususnya ialah bahwa haruslah kata/hal yang dikecualikan termasuk dalam kata/hal yang mengecualikan dengan tujuan bukan secara tidak langsung, karena pengecualian adalah tindakan kata sehingga terbatas pada yang dimaksud oleh kata.
2.2. Lafaz Umum dan Lafaz Mutlak
Lafaz umum merupakan sifat yang ada pada lafaz itu sendiri, karena ia adalah petunjuk lafaz atas mencakupnya pada semua satuannya. Suatu lafaz, jika menunjukkan pada satu orang seperti perempuan, atau dua orang perempuan, beberapa perempuan, kelompok, seratus, seribu, maka lafaz tersebut bukanlah lafaz umum, akan tetapi lafaz mutlak.
Perbedaan lafaz umum dan lafaz mutlak, adalah bahwa lafaz umum itu mencakup semua satuan-satuannya, sedangkan lafaz mutlak hanya menunjukkan kepada satuan-satuan, tidak semuanya.
Ulama berbeda pendapat tentang makna umum, setidaknya ada tiga bentuk sighah umum menurut jumhur ulama’:
a.    Sighah ‘am terbentuk paling sedikitnya adalah tiga, mereka ulama’ mengatakan      lafaz tersebut dikualifikasikan untuk menguatkan ma’na khusus.
b.    Sighah ‘am yang dibentuk untuk mencakup semua satuan-satuannya sekaligus,       mereka ulama’ menyebutkan kualifikasi untuk menguatkan ma’na umum.
c.         Sighah yang disandardar pada sesuatu yang bermakna mencakup semua, atau disandarkan pada sesuatu yang bermakna mengumpulkan, atau meringkas sesuatu yang paling sedikit yang memuat sifat dan bilangan. Hal ini sesuai dengan petnyataan yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa Fi Im al-Usul.
2.3. Macam-macam ‘Amm dan Mukhasis
2.3.1. Macam-macam ‘Amm
Lafaz ‘Am terbagi menjadi tiga macam:
a. `Am yang tetap dalam keumumannya (al-’am al baqi ’ala ‘umumih). Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘am seperti jarang ditemukan, sebab tidak satupun lafaz ‘am kecuali didalamnya terdapat takhsis, tetapi Zarkasyi dalam al-Burhan mengemukakan, ‘am demikian banyak terdapat dalam Qur’an. Misalnya:
وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍعَلِيْمٌ
b. ‘Am yang dimaksud khusus (al-’am al-murad bihi al-khusus).  Misalnya firman Allah:
الَّذِيْنَ قاَلَ لَهُمُ النَّاسُ أِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْالَكُمْ
c. ‘Am yang dikhususkan (al-’am al-makhsus). ‘Am macam ini banyak ditemukan di al-Qur’an. ‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Diantaranya adalah:
وَكُلُوْوَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
Perbedaan antara al-’am al-murad bihi al-khusus dengan al-’am al-makhsus
dapat dilihat dari beberapa segi. Antara lain:
a. Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz maupun dari hukumnya.
b. Yang pertama adalah majaz secara pasti, karena ia telah beralih dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang yang kedua, menurut pendapat yang lebih shahih, adalah hakikat.
c. Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah.
2.3.2.        Macam-macam Mukhasis
Mukhasis terbagi menjadi 2 macam:
a. Mukhasis muttasil atau mukhasis yang bersambung
Yaitu apabila makna suatu dalil berhubungan erat atau bergantung pada kalimat umum sebelumnya. Mukhasis muttasil dibagi menjadi lima,yaitu:
1.      Pengecualian (istisna)
2.      Syarat
3.      Sifat
4.      Kesudahan
5.      Sebagian ganti keseluruhan
b. Mukhasis munfasil
Yaitu dalil yang umum atau makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya. Masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tapi terpisah. Ada beberapa macam mukhasis mufasil, yaitu:
1.      Kitab ditakhsis dengan kitab
2.      Kitab ditakhsis oleh sunah
3.      Sunah ditakhsis dengan kitab
4.      Sunah ditakhsis oleh sunah
5.      Mentakhsis dengan qiyas
2.4. Mekanisme Ke-’umum-an dan Mekanisme Ke-khusush-an
2.4.1.        Mekanisme Ke-’umum-an
Ulama ushul merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai makna umum, dan mereka membatasinya sebagai berikut:[10]
1.      Kata “kullu”, apakah ia menjadi permulaan kalimat atau pun muncul sebagai keterangan.
2.      Semua kata penghubung, asma’ al-maushul (relatif pronoun).
3.      Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa saja) baik sebagai kata syarat kata tanya maupun sebagai kata penghubung.
4.      Kata jama’ yang di ma’rifatkan baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) atau pun dengan kasus idhofah (possessive).
5.      Kata benda kategori yal (isim jins) yang dima’rifatkan baik dengan kasus idhofah maupun dengan partikel alif-lam.
6.      Kata benda tak tertentu (nakiroh) dalam konteks larangan, negasi dan syarat (condisional) dan dalam konteks pemberian anugerah.
2.4.2.        Mekanisme Ke-khusush-an
Jika mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa perangkat kebahasaan maka masih terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat mengalihkan yang umum menjadi yang khusus, makna umum menjadi makna khusus. Pengertian “ke-khusush-an” secara bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal, seperti yang dikatakan oleh ahli fiqh: pertama, kata dengan format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut, tetapi maknanya khusus. Maka khusus semacam ini dapat dipahami dari konteks struktur teks. Inilah yang disebut ulama’ fiqh sebagai “amm, namun maksudnya khashsh”. Kedua, kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata tersebut). Jenis yang kedua ini di sebut oleh ulama dengan ‘amm tang di-takhsish.[11]
Yang membedakan antara “’amm namun maksudnya khashsh” dengan “’amm yang di-takhsish” adalah perbedaan semantis yang pada dasarnya dapat ditentukan melalui beberapa sudut:[12]
Pertama, bahwa makna kata dalam tipe pertama tidak menyeluruh meliputi semua bagian yang tercakup dalam pengertian kata tersebut, sementara makna kata pada tipe kedua menyeluruh.
Kedua, dari segi hukum (pesan) yang terkandung, hukum pada tipe pertama hanya dapat diterapkan pada makna khusus dari kata, sementara hukum pada tipe kedua tidak sejalan dengan makna katanya sebab kata tersebut umum, namun hukumnya khusus.
Ketiga, bahwa makna kata pada tipe pertama metaforis, sementara makna kata pada tipe kedua hakiki (makna sebenarnya).
Keempat, bahwa konteks takhshish pada tipe pertama bersifat rasional, sementara konteks pada tipe kedua bersifat verbal.
Kelima, bahwa konteks nasional pada tipe pertama berkaitan dengan ujaran, sementara konteks verbal pada tipe kedua dapat berkaitan (berada dalam satu teks) dan dapat pula terpisah.
Kebolehan takhsis:[13]
Al-Ghazali berkata: kami tidak mengetahui perbedaan antara mereka yang berpendapat adanya keumuman dalam kebolehan mengkhususkannya (takhsis) dengan dalil, baik dalil akal atau pendengaran atau lainnya. Bagimana hal itu diingkari dengan adanya kesepakatan atas pengkhususan firman-firman Allah SWT yang berikut:
Ia menciptakan segala sesuatu                                                                          خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ
Engkau menghancurkan segala sesuatu                                                 وَتُدَمِّرُكُلَّ شَىْءٍ
Aku diberi segala sesuatu                                                                                              وَأُوْتِيْتُ مَنْ كُلِّ شَىْءٍ
Bunuhlah orang-orang musyrik                                                              أُقْتُلُو االْمُشْرِكِيْنَ
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan                                               السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
Pelaku zina perempuan dan pelaku zina laki-laki                       وَالزَّانِيَةُوَالزَّانِى
Allah berpesan kepada kamu mengenai anak-anakmu   يُوْصِيْكُمُ اللّهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ
Dan dalam hasil pertanian yang diairi dengan air hujan
zakatnya adalah sepersepuluh                                                                  وَفِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُالْعُشُرُ
2.5. Mutlaq dan Muqayyad
Pada bagian ini kita membicarakan tentang mekanisme-mekanisme kekhususan yang terpisah (munfashilah). Dengan kata lain, kita membicarakan hubungan antar bagian teks satu sama lain dari sudut pandang keumuman dan kekhususan, yaitu hubungan yang disebut ulama’ fiqh dengan “mutlak dan muqayyad”.  Jika sebagian teks memiliki makna umum maka sebagian yang lain terkadang men-takhshish makna umum tersebut. Dengan kata lain, apabila teks yang mutlak, ada teks lain yang membatasi kemutlakan teks tersebut. Ini berarti bahwa takhshish terkadang dapat dilakukan dengan menghadapkan teks-teks dalam keseluruhan teks yang umum atau antara Al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan lainnya. Teks yang mutlak dalam teks apapun tetap dalam status kemutlakan dan keumumannya selama tidak ada teks lain yang membatasi kemutlakannya itu. Dasar yang digunakan ulama’ ushul adalah bahwa “Al-Qur’an bagaikan satu ayat”. Kaidah bahwa mutlak dikembalikan ke yang muqayyad, dirumuskan sebagai berikut:[14]
“Jika terdapat satu dalil yang membatasi (taqyid) yang mutlak maka dalil tersebut dijadikan muqayyad, dan jika tidak ada maka yang mutlak tetap pada kemutlakannya, dan yang muqayyad tetap pada taqyid-nya sebab Allah berbicara kepada kita dengan bahasa Arab. Patokannya adalah bahwa jika Allah memutuskan sesuatu dengan suatu sifat atau syarat kemudian muncul hukum yang lain secara mutlak maka harus dipertimbangkan, jika ia tidak memiliki dasar yang dapat dijadikan rujukannya kecuali hukum yang muqayyad tersebut maka ia harus dibatasi dengan yang muqayyad tersebut, dan jika ia memiliki dasar yang lainnya maka pengembalikannya pada salah satunya tidaklah lebih baik daripada yang satunya lagi.




BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan
Setelah dibahas dalam bab sebelumnya akhirnya kami dapat menarik kesimpulan bahwa ‘Amm adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu tanpa ada batasnya. Misalnya: lafal laki-laki (ar-rijal), berarti mencakup semua laki-laki tanpa kecuali. Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat sighat-sighat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum. Sedangkan Khas adalah lawan dari ‘amm ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.
Perbedaan lafaz umum dan lafaz mutlak, adalah bahwa lafaz umum itu mencakup semua satuan-satuannya, sedangkan lafaz mutlak hanya menunjukkan kepada satuan-satuan, tidak semuanya.
Pada lafaz ‘amm terdiri dari tiga macam yang meliputi: `Am yang tetap dalam keumumannya (al-’am al baqi ’ala ‘umumih), ‘Am yang dimaksud khusus (al-’am al-murad bihi al-khusus), ‘Am yang dikhususkan (al-’am al-makhsus). ‘Am macam ini banyak ditemukan di al-Qur’an. Sendang dalam mukhasis hanya dibagi menjadi dua bagian yaitu: mukhasis muttasil atau mukhasis yang bersambung dan mukhasis munfashil.
Mekanisme keumuman yaitu sebagai berikut: Kata “kullu”, apakah ia menjadi permulaan kalimat atau pun muncul sebagai keterangan. Semua kata penghubung, asma’ al-maushul (relatif pronoun). Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa saja) baik sebagai kata syarat kata tanya maupun sebagai kata penghubung. Kata jama’ yang di ma’rifatkan baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) atau pun dengan kasus idhofah (possessive). Kata benda kategori yal (isim jins) yang dima’rifatkan baik dengan kasus idhofah maupun dengan partikel alif-lam. Kata benda tak tertentu (nakiroh) dalam konteks larangan, negasi dan syarat (condisional) dan dalam konteks pemberian anugerah.
Yang dimaksud dengan mutlak yaitu suatu lafal tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafal yang mengurangi keumumannya. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal tertentu yang dibatasi oleh batasan lafal lain yang mengurangi keumumannya.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Litera       AntarNusa, 2011.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka      Al-Kautsar, 2011.
Biek, Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori. Terjemah Ushul Fiqih. Pekalongan: Raja Murah,     1982.
Suparta, Mundzier dan Djedjen Zainuddin. Fiqih. Semarang: Karya Toha Putra, 2012.
Zaid, Nasr hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.








[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu A-Quran (Jakarta : Pustaka Litera AntarNusa, 2011), 313.

[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu A-Quran (Jakarta Timur: Pusaka Al-kautsar, 2004), 273
[3] Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), 187.
[4] Ibid., 187.
[5] Ibid., 190.
[6] Ibid., 191.
[7] Op. Cit., 319.
[8] Ibid., 278-279.
[9] Op. Cid., 221.
[10] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), 248.
[11] Ibid., 258.
[12] Ibid., 259.
[13] Op. Cid., 217.
[14] Ibid., 271.

Tidak ada komentar:

 
 
Blogger Templates