BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wakaf merupakan salah satu bentuk pemberian yang hanya bisa diambil
manfaatnya dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu harta yang layak
untuk diwakafkan adalah benda yang tidak habis dan umumnya tidak dapat dipindahkan
misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya yang digunakan untuk kepentingan umum,
misalnya untuk masjid, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum dan lain
sebagainya. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar bersedekah
biasa namun pahala wakaf akan seperti amal jariyah dimana pahala dan manfaatnya
akan terus mengalir selama barang atau benda yang diwakafkan terus berguna dan
bermanfaat.
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihat sekarang ini diantaranya
adalah karena hasil wakaf oleh kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid,
musholla, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri
diatas tanah wakaf. Bahkan banyak lemabaga-lembaga pendidikan islam, majlis
tahkim yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Oleh karena itu, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya
agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentinngan Islam. Hal
ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan
umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
1.2.
Rumusan masalah
1. Bagaimana proses perwakafan yang ada di daerah
anda?
2. Apakah ada kesalahan proses perwakafan yang
ada di daerah anda?
3. Bagaimana solusi terhadap permasalahan yang
ada di daerah anda?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Permasalahan.
Di Desa Bakalan Kecamatan Tembelang Kabupaten Jombang terdapat orang yang
mewakafkan yang bernama ibu Biatun yang berusia 90 tahun. Beliau merupakan
seorang ibu yang termasuk orang kaya karena mempunyai tanah dan juga rumah yang
begitu luas. Beliau mempunyai 5 orang anak yang bernama jainul, zainuri, badi’,
inayah, dan zumaroh. Ibu Biatun mewakafkan tanah dibelakang rumahnya seluas
15x12 m yang digunakan untuk dibangun musholla yang biaya pembangunannya
disumbang oleh masyarakat setempat.
Beliau menyarankan tanahnya untuk dibangun musholla karena masyarakat di
belakang rumahnya merupakan masyarakat yang sangat minim pengetahuan agamanya
bahkan mereka tidak begitu mengerti tentang agama, memang tidak begitu banyak
masyarakat yang tinggal didaerah tersebut namun beliau mewakafkan tanahnya
dengan harapan mereka bisa berubah atau mereka setidaknya mereka tidak
melupakan kewajiban mereka untuk shalat 5 waktu dan bisa berjamaah di musholla
wakafnya tersebut dan juga kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya yang bisa
dijalankan disitu dan semua ahli warisnya memang setuju atas tanah wakaf yang diberikan
untuk dibangunkan musholla itu.
Si wakif memberikan tanahnya dengan menyerahkan bapak Husen sebagai
nadhirnya. Beliau memberikan tanah untuk diwakafkan pada tahun 2011 secara
lisan dan diserahkan kepada bapak Husen. Namun tanah tersebut tidak
disertifikatkan oleh si nadhir. Pada tahun 2015 diatas tanah tersebut baru
dibangun musholla dan sampai pembangunan musholla tersebut selesai tanah itu
masih juga belum mempunyai bukti otentik bahwa tanah tersebut tanah wakaf
karena tanah tersebut belum memiliki akta.
2.2. Analisis
Kebanyakan praktik perwakafan di daerah saya memang wakafnya digunakan
untuk tempat-tempat ibadah misalnya masjid dan musholla, bahkan hampir tidak
ada yang digunakan untuk yang lainnya. Kesadaran dan rasa persaudaraan yang
tinggi masih melekat pada masyarakat desa sehingga banyak yang menganggap
proses perwakafan tidak perlu dilakukan penyertifikatan, maka dari permasalahan
diatas praktik tata cara wakfnya sudah benar. Namun terdapat sedikit kesalahan
yaitu tidak adanya bukti otentik kalau tanah tersebut sudah diwakafkan.
Apalagi proses perwakafan yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu,
seorang nadhir mungkin sudah malas untuk menyertifikatkan dikarenakan belum
terjadi permasalahan persengketaan atau bahkan syarat-syarat untuk
penyertifikatan belum terpenuhi karena hilangnya bukti kepemilikan tanah atau
tidak adanya bukti kepemilikan tanah. Karena didalam proses penyertifikatan
benda yang diwakafkan harus memenuhi beberapa syarat antara lain: selain itu tahun dibentuknya
peraturan-peraturan tentang perwakafan baru terjadi pada tahun 2004 sedangkan
proses perwakafan sudah terjadi sejak dahulu kala.
Kebanyakan yang menjadi permasalahan dalam wakaf yaitu tidak adanya bukti
otentik sehingga ahli waris yang gila akan harta tidak memperdulikan akan
hukumnya bahkan bisa menjadikan perpecahan diantara anggota keluarga karena
masalah harta peninggalan orang tuanya dan bisa merembet ke dalam harta yang
diwakafkan oleh orang tuanya yang tidak mempunyai bukti otentik tersebut.
2.3. Solusi
Wakaf tanah yang belum bersertifikat seharusnya harus segera di
sertifikatkan oleh nadhir kepada kantor PPAIW demi kekuatan hukum yang berlaku
karena salah satu syarat mewakafkan tanah yang benar menurut hukum di Indonesia
yaitu tanah itu harus bersertifikat agar melancarkan proses kedepannya. Apabila
tanah tersebut tidak ada bukti otentik maka bisa jadi akan ada masalah-masalah
di kemudian hari misalnya salah satu ahli waris ingin mengakui tanah tersebut
sebagai haknya karena pada dasarnya wakaf tersebut tidak ada bukti secara riil
status tanah tersebut dan masih bersertifikat hak milik, maka hendaknya tanah
wakaf tersebut segera di sertifikatkatkan ketika mewakafkan tanah tersebut dan
wakif masih hidup karena apabila pelaksanaan sertifikat tanah wakaf tersebut
ditunda sampai wakif sudah meninggal maka bisa jadi akan ada masalah wakaf baru
yang timbul misalnya ketika mau diadakan sertifikat tanah wakaf tersebut
seorang wakif sudah meninggal sedangkan tinggal ahli waris yang masih hidup dan
ketika dimintai tanda tangan ahli waris tersebut tidak mau melakukannya dengan
alasan tidak mengetahui atas masalah perwakafan tersebut karena ia ingin merebut tanah wakaf tersebut sebagai hak miliknya
karena peninnggalan orang tuanya, maka proses penyertifikatan akan lebih sulit
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar