TUGAS
TERSTRUKTUR
MATA
KULIAH PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA
“INPRES
DESA TERTINGGAL”
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK 5
ANGGOTA
:
LESTARI
KUSUMAH DEWI (105050100111010)
FERDIANSYAH
R (105050100111014)
YULIANTO
NUGROHO (105050100111015)
TAUFIK
ALI AKBAR (105050100111023)
HENNY
IKA W (105050100111035)
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbagai
program pengentasan kemiskinan yang ada, kenyataannya justru menghasilkan
kondisi yang tidak menguntungkan masyarakat miskin. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa kasus yang ada misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih
fragmentasi sosial, dan yang paling mendasar adalah melemahkan capital
sosial (gotong-royong, musyawarah, kepedulian, musyawarah, keswadayaan dan
lain-lain). Lemahnya capital sosial di masyarakat ini pada gilirannya
juga akan mendorong pergeseran perilaku masyarakat yang semakin jauh dari sifat
kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara
bersama. Kondisi capital sosial yang melemah serta memudar ini lebih
disebabkan oleh keputusan, kebijakan atau tindakan pengelola program dan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak
transparan dan tidak bisa terganggugugat, serta yang paling penting adalah
tidak adanya keberpihakan kepada masyarakat miskin. Hal ini mengakibatkan
kecurigaan, ketidakpedulian dan skeptisme di masyarakat.
Di sisi lain,
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk
meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai program ekonomi.
Seperti peningkatan penghasilan, pemberian kridit lunak, dsb. Semua ini tidak
bisa disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin akan tetapi
tidak serta-merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang
saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan
mereka, sehingga pemecahan yang paling logis adalah dengan cara meningkatkan
penghasilan. Peningkatan penghasilan di sini dianggap sebagai obat paling
mujarab untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Padahal kenyataannya akar
kemiskinan malah bukan berasal dari penghasilan. Karena tinggi rendahnya
penghasilan seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai peluang yang dapat
diraihnya. Kemiskinan lebih disebabkan karena kebijakan-kebijakan politik
pemerintah yang tidak adil sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir
dari sumber daya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka
secara layak.
Akar dari
kemiskinan di masyarakat bisa dilihat dari dua segi, yakni eksternal dan
internal. Sebab eksternal bisa meliputi musibah atau bencana alam, krisis
ekonomi, kebijakan politik yang tidak berpihak, struktur ekonomi yang tidak
adil dan lainnya. Sedangkan sebab internal, bisa dikarenakan kemalasan,
ketakutan, kepelitan, lilitan hutang atau ketidakmampuan seseorang dalam
menjalin interaksi dengan sesama. Selain itu, minimnya akses ekonomi dan
ketidakmampuan dalam mengelola pendapatan juga menjadi penyebab gurita
kemiskinan. Dua komponen ini saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Ada beberapa
program pemerintah pada saat itu yang diluncurkan untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin. Salah satunya adalah program Inpres Desa Teringgal (IDT).
Program ini muncul dengan didasarkan atas pemikiran kalau kelompok masyarakat
(pokmas) yang terbentuk dari bawah akan lebih kuat ikatannya dan akan lebih
mempercepat menolong seseorang keluar dari kemiskinan (community-based
development approach). Selain itu pemikiran ini juga bertujuan mengurangi
kesenjangan sosial dengan cara meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia,
tertutama pada kelompok-kelompok masyarakat miskin. Pada saat itu program IDT
diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian penduduk miskin, meningkatkan
pendapatan penduduk miskin dan akhirnya meningkatkan juga kepedulian masyarakat
terhadap kelompok miskin. Jadi terlihat bahwa masyarakat miskin akan menjadi
subject dari pembangunan. Total dana yang di sediakan kira2 sebesar US$200 juta
yang disediakan oleh pemerintah. World Bank dan UNDP diminta untuk melakukan
pengawasan secara independent. Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah
dalam menanggulangi kemiskinan ini pemerintah membentuk sekertariat tersendiri
yang mengurusi masalah IDT dengan tujuan mengurangi birokrasi yang ada.
1.2 Rumusan
Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah :
·
Bagaimana sejarah
munculnya program IDT ?
·
Apa saja yang termasuk
hakikat dan komponen program IDT ?
·
Apa saja kelebihan
program IDT ?
·
Bagaimana tantangan
pengimplementasiannya ?
·
Bagaimana contoh
langsung penerapan program IDT ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai, antara lain adalah :
·
Untuk menganalisa
sejarah berdirinya IDT
·
Untuk menganalisa
hakikat dan komponen program IDT
·
Untuk menganalisa
kelebihan program IDT
·
Untuk menganalisa
tantangan pengimplemantisan program IDT
·
Untuk menganalisa
contoh penerapn IDT
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat dipetik adalah, seperti dibawah
ini :
·
Untuk mendapatkan
informasi tentang sejarah berdirinya IDT
·
Untuk mendapatkan
informasi tentang hakikat dan komponen program IDT
·
Untuk mendapatkan
informasi tentang kelebihan program IDT
·
Untuk mendapatkan
informasi tentang tantangan pengimplemantisan program IDT
·
Untuk mendapatkan
informasi tentang contoh penerapn IDT
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Program IDT mengandung tiga pengertian dasar yakni :
pertma,sebagai pemicu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan; kedua sebagai
strategi dalam pemerataan pembangunan dan ketiga, adanya bantuan dana bergulir
bagi masyarakat yang paling memerlukan. Program IDT adalah upaya pembangunan
moral melalui peningkatan kesadaran, kemauan, tanggung jawab, rasa kebersamaan,
harga diri dan percaya diri masyarakat
Program IDT merupakan upaya nyata kearah
pemberdayaan kehidupan keluarga miskin secara social ekonomi. Secara social,
keberhasilan program IDT dapat dilihat pada aktivitas kelompok masyarakat
(Pokmas) dalam menciptakan kebersamaan hidup anggotanya. Hal ini menyangkut kemampuan
untuk menyelanggarakan organisasi Pokmas sehingga mempunyai kemampuan untuk
mengelola kebersamaan hidup anggotanya. Secara ekonomi keberlangsungan usaha
anggota Pokmas harus ditempatkan diatas tingkat perluasan peminjaman.
Selanjutnya, keberhasilan program IDT dapat diukur melalui tingkat perluasan
pinjaman termasuk dengan pengenaan tingkat bunga ringan yang disepakati anggota
Pokmas.
Batasan
kelompok penduduk miskin menurut Aisyah mengutip pendapat Sajogya (1997 : 153)
bahwa kemiskinan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut:
1. Miskin apabila tingkat pendapatannya lebih kecil dari 320 kg
nilai tukar beras per kapita per tahun untuk pendesaan dan 480 kg untuk
perkotaan;
2. Miskin sekali bila seseorang mempunyai pendapatan 240 kg
nilai tukar beras perkapita per tahun untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk
perkotaan;
3. Melarat dengan pengeluaran sebesar 180 kg nilai tukar beras
per kapita per tahun untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk perkotaan.
Menurut
Mubyarto (1998 : 84) di Jawa Tengah cara menentukan penduduk miskin dengan
kriteria sebagai berikut :
1. Tidak mampu makan setara 2.100 kalori per orang per hari;
2. Tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan derajat kesehatan
rendah;
3. Tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap;
4. Pendapatan per kapita per hari kurang dari Rp 500,-;
5. Partisipasi dalam pembangunan rendah;
6. Kondisi perumahan dan lingkungan minimal;
7. Kepemilikan perlengkapan rumah tangga terbatas
8. Kepemilikan lahan sangat sempit dan tidak produktif
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah
IDT ( Impres Desa Tertinggal )
Salah satu
program pengentasan kemiskinan di era kepemimpinan Soeharto adalah program IDT.
Program ini dirancang Mubyarto bersama seorang teman LSM-nya. IDT adalah
kependekan dari “Inpres Desa Tertinggal”. Mengapa bukan “desa miskin” melainkan
“desa tertinggal”. Apakah keduanya ada perbedaan? Indonesia dikenal sebagai
negara yang sangat pandai dalam hal-hal yang berkaitan dengan eufemistis.
Presiden Soeharto kala itu tidak simpatik dengan kata “miskin”. Oleh karena itu,
kata “miskin” diperhalus dengan kata “tertinggal”. Apalagi pada awal kelahiran
program ini, banyak para Gubernur dan Bupati yang tidak setuju dengan
pengklaiman bahwa daerahnya adalah salah satu daerah miskin. Atas dasar ini
makanya desa miskin diperhalus dengan desa tertinggal.
Program IDT ini
dihalirkan melalui instruksi presiden no. 5 tahun 1993 pada tanggal 27
Desember. Mekanisme implementasi program ini adalah dengan cara memberikan
batuan kepada masyarakat miskin berupa sejumlah uang dan materi. Uang dan
materi ini digunakan untuk membantu masyarakat miskin membangun usahanya secara
mandiri. Uang dan materi yang diberi oleh pemerintah ini memiliki fungsi
pemberdayaan. Maksudnya adalah bahwa uang dan materi yang diperoleh ini dilihat
sebagai modal awal untuk menghasilkan laba dan keuntungan di masa-masa yang
akan datang.
Dana bergulir
itu disalurkan melalui Pokmas (Kelompok Masyarakat) yang dibentuk oleh
masyarakat sendiri di desa-desa tertinggal. Untuk memperlancar implemetasi
program IDT ini, “sekitar 4000 Pendamping direkrut di antara lulusan S1
(Sarjana Pendamping) dilatih selama sebulan baik fisik maupun pengetahuan
tentang Pokmas dan keterampilan pendampingan. Selain penyusunan konsep, Bina
Swadaya juga terlibat dalam pelatihan untuk mempersiapkan tenaga Pendamping.
Program IDT ini telah membentuk 120.000 Pokmas dengan anggota 3,6 juta
keluarga”. Tapi sesungguhnya, program IDT merupakan perluasan dan peningkatan
dari berbagai program dan upaya serupa yang telah dilaksanakan selama ini,
seperti Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), kegiatan Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera Keluarga Berencana (UPPKS-KB), dan program serupa
yang dilaksanakan oleh PKK. Program PKT dan program lain yang menangani
langsung masalah kemiskinan pada tingkat perdesaan di desa tertinggal
selanjutnya diintegrasikan ke dalam program IDT.
Program ini
memiliki spirit partisipasi publik. Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam
pelaksanaan program ini agar mereka bisa mengembangkan usaha kecil, menengah
dan koperasinya secara mandiri. Dengan ini maka program ini disambut dengan
antusias oleh semua elemen masyarakat.
“Masyarakat
memperoleh dukungan pemberdayaan untuk membangun usaha kecil, menengah dan
koperasi. Disyaratkan agar setiap keluarga dan penduduk ikut serta dalam proses
pemberdayaan, utamanya penduduk yang dianggap miskin atau dirasa harus
meningkatkan kemampuan keluarganya. Usaha kecil yang menjadi garapan itu
mendapat dukungan kredit dengan bunga di subsidi agar sebanyak mungkin keluarga
dapat dengan mudah memulai usaha kecil dan menengahnya dalam kelompok yang
makin mandiri. Pelaksanaan program IDT dilakukan langsung oleh masyarakat desa
tertinggal itu sendiri, dibantu oleh aparat pemerintah daerah pada tingkat yang
paling dekat dengan rakyat. Karena itu, peranan aparat pemerintah
desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh lembaga
masyarakat yang ada di desa/kelurahan, seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa (LKMD) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).”
Pengimplementasian
program ini dimulai pada tanggal 1 April 1994. Pada awal implementasi program
ini, ada sekitar 20.000 desa yang menjadi sasaran program. Ketika tahun 1996
cakupannya menjangkau sekitar 28.223 desa tertinggal. Selama program ini
berlangsung, setiap desa mendapat dana sebesar 20 juta per tahun sebagai modal
usaha bagi kelompok keluarga miskin di desa-desa tersebut. Kepada daerah-daerah
yang menerapkan IDT diberikan dukungan tiga komponen pembangunan, yaitu
pembangunan prasarana perdesaan, pinjaman bergulir, dan pendampingan oleh
tenaga sarjana yang bekerja paruh waktu. Namun, program ini cuma berjalan 3
tahun karena hasilnya tidak maksimal. Dana-dana IDT akhirnya diambil dan
diserahkan pengolahannya kepada depertemen luar negri.
3.2 Hakikat
dan Komponen Program IDT
Apa sesungguhnya hakikat dari IDT ? Pertanyaan
tentang hakikat senantiasa menuntut jawaban yang selalu menukik pada pengertian
dan sasaran substantif dari apa yang dipertanyakan. Sesungguhnya program
mengandung tiga pengertian dasar. “Pertama, program IDT mengandung makna
sebagai usaha penanggulangan kemiskinan melalui kepedulian di antara yang telah
maju dan kuat terhadap yang miskin dan tertinggal. Tujuan utama dari arus
kepedulian ini adalah untuk memacu gerakan nasional dalam memerangi fakta
kemiskinan di masyarakat Indonesia. Kedua, program IDT merupakan salah satu
strategi pemerataan dan penajaman program pembangunan yang ditujukan kepada
penduduk miskin di desa tertinggal. Penajaman program ini tertuang dalam
pengalihan program yang semula dipusatkan, secara bertahap dan terprogram
dialihkan dan ditujukan langsung kepada masyarakat yang paling memerlukan.
Ketiga, sebagai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat dalam perubahan
struktur yang tumbuh dari kemampuan masyarakat sendiri.” Untuk menggolkan
hakekat IDT di atas maka pelakasaan IDT senantiasa didasarkan pada prinsip
demokrasi. Pembangunan dan pengentasan kemiskinan selalu berarti pembangunan
dan pengentasan dari, oleh dan untuk rakyat sendiri. Program IDT sesungguhnya
didasarkan pada moralitas pembangunan itu sendiri. Bahwa pembangunan adalah
tanggung jawab dan kemauan bersama seluruh masyarakat dengan logika: ”yang kuat
dan maju memiliki imperatif dan tanggung jawab moral untuk membatu yang lemah
dan tertinggal”.
Lebih lanjut, ”untuk melaksanakan program IDT
terdapat tiga komponen, yaitu 1) penyediaan dana bergulir sebagai modal usaha
ekonomi produktif, 2) penyediaan tenaga pendamping, dan 3) pembangunan
prasarana pendukung desa tertinggal. Ketiga komponen tersebut sedapat mungkin
dapat menjangkau dan langsung dilaksanakan oleh penduduk miskin di desa yang
memerlukan. Disamping ketiga kegiatan di atas, dalam rangka memperkuat
perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan selanjutnya juga
dilaksanakan komponen kegiatan penguatan kelembagaan, yang akan dilaksanakan
bagi Aparat Daerah dan Pusat, kegiatan Bantuan Pengembangan Kecamatan dan
kegiatan Sistem Pengelolaan Informasi program IDT, sebagai kegiatan pendukung
dan penunjang program penanggulangan kemiskinan berupa kegiatan evaluasi,
pemantauan dan publikasi program IDT”.
3.3.Kelebihan
Program IDT
Implementasi program IDT di Indonesia telah membawa
beberapa perubahan positif bagi pembangunan nasional. Misi utama pelaksanaan
program IDT adalah untuk menanggulangi kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan di desa-desa tertinggal. Selama implementasi program IDT
dijalankan ada perubahan signifikan dalam kaitan dengan pereduksian angka
kemiskinan. Dalam perjalanan implementasi program selama dua tahun,
keberhasilan sasaran yang dituju mulai pelan-pelan menunjukkan hal positif.
Oleh karena itu, pemerintah mulai mensenyawakan beberapa program-program
lainnya seperti “TAKESRA” dan “KUKESRA” ke dalam program IDT. Kedua program tambahan
ini ditujukan untuk desa-desa di luar kategori desa tertinggal tapi masih
tergolong miskin. Namun, akhirnya hasil implementasi program IDT memang tidak
terlalu signifikan karena praksisnya pelaksanaan IDT cuma 3 tahun.
Kurang lebih, kelebihan program IDT adalah sebagai
berikut. Pertama, pelaksanaan program
IDT menjadikan masyarakat miskin sebagai aktor utama dalam pengentasan fakta
kemiskinan yang sedang mereka alami sendiri. Pemerintaha hanya berfungsi
sebagai fasilitator dan penggerak agar program itu bisa berjalan dengan baik.
Masyarakat dan pemerintah sama-sama pro-aktif dalam memerangi fakta kemiskinan.
Dalam hal ini, sebagaimana yang ditandaskan dalam perspektif good governance,
pemerintah (yang baik) lebih menjalankan fungsi “enabling, streering dan
empowering” dari pada sebagai “providing dan rowing”. Bila fungsi providing dan
rowing yang diutamakan maka masyarakat akan menjadi penonton yang pasif untuk
program yang dicanangkan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam
kaitannya dengan masalah pengentasan kemiskinan adalah suatu keniscayaan sebab
masyarakat lebih tau apa dan bagaimana yang mereka alami. Selain itu ada sebuah
pepatah Inggris yang mengatakan demikian: “If someone asks fish on you, do not
give him/ her fish, but teach him/her how to fish so that if you are not with
him/her anymore, he/she will not die of being hanger”. Kedua,
program IDT adalah program untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk
miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha.
Dalam rangka itu, program IDT diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial
ekonomi untuk mewujudkan “kemandirian” penduduk miskin di desa/kelurahan
tertinggal dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan
partisipasi. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi
dan pemasaran, terutama yang sumber dayanya tersedia di lingkungan masyarakat
setempat. Guna mempercepat upaya itu disediakan dana sebagai modal kerja bagi
penduduk miskin untuk membangun dan mengembangkan kemampuan dirinya. Dengan
ketersediaan modal, penduduk miskin diharapkan akan lebih mampu meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraannya secara mandiri. Ketiga, program IDT mengkoordinasikan dan memadukan berbagai
program pembangunan yang sudah ada dalam kerangka penanggulangan kemiskinan
secara komprehensif. Pada tingkat kelompok sasaran, program IDT bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat, mendorong perubahan struktur masyarakat, dan
membangun kemampuan masyarakat melalui pengembangan, peningkatan dan pemantapan
kondisi sosial ekonomi. Dana bantuan yang bersifat tunai itu dihibahkan ke
masyarakat dan dikelolah oleh kelompok dengan pencatatan secara tertib dan
transparan.
3.4.
Tantangan Implementasi Program IDT
Implementasi program tidak luput dari tantangan dan halangan.
Semua kelemahan itu membuat program IDT tidak bisa berjalan secara efektif dan
efisien sesuai dengan idealisme awal, yakni untuk mengatasi kemiskinan secara
terpadu dan berkelanjutan. Adapun beberapa tantangan fundamental yang dialami
dalam proses pengimplementasian program IDT. Pertama, masalah paling besar yang dihadapi dalam pelaksanaan
program IDT adalah kesulitan dalam menjangkau wilayah-wilayah desa tertinggal
yang amat tersebar dan terisolasi seperti di Irian Jaya, Maluku Tenggara,
Wilayah perbatasan Kalimantan, dan wilayah-wilayah kepulauan Riau, Nias, Sangir
Talaud dan Banggai. Banyak di antara desa-desa terisolasi ini tidak dapat
dijangkau dengan jalan darat atau laut, tetapi hanya dapat dijangkau dengan
pesawat kecil dan atau bahkan dengan berjalan kaki beberapa hari. Juga banyak
Kecamatan belum memiliki kantor-kantor bank atau kantor pos yang dapat
menyalurkan dana IDT. Untuk mengatasi kendala ini pemerintah telah mengupayakan
untuk memberikan secara langsung kepada pokmas melalui jasa pos atau
bank.
Kedua,
program IDT menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam menjalankan
program. Sementara pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. Namun,
strategi seperti ini tidak selamanya efektif sebab tidak sedikit masyarakat
yang belum siap untuk “berdikari” dalam memanage program. Hal ini disebabkan
oleh rendahnya sumber daya manusia. Apalagi sumber daya manusia orang-orang
desa tidak cukup memadai. Hal ini terkadang diperburuk oleh sosialisasi dari
pemerintah tentang pelaksanaan program yang terkesan instan dan tidak
serius.
Ketiga,
hal ini berkaitan dengan monitoring pelaksanaan program. Monitori pelaksanaan
program masih menemukan banyak kendala. Misalkan, dalam pelaksanaannya, program
IDT khususnya komponen Bantuan Langsung secara nyata menghadapi kendala berupa
masih belum optimalnya penyusunan data base yang berasal dari jalur monitoring
rutin yang dilaksanakan oleh Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri, serta masih
belum adanya evaluasi yang cukup representatif terhadap pelaksanaan komponen
Bantuan Langsung. Pelaksanaan Program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung
Rp. 20 juta selama 3 (tiga) tahun anggaran dalam kenyataannya sulit untuk
dipantau perkembangannya dari mulai tahap sosialisasi, implementasi, sampai
dengan tahap evaluasi. Hal ini menyebabkan sampai dengan saat ini belum dapat
tersusun data dasar yang akurat tentang perkembangan komponen Bantuan Langsung.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya peluang korupsi dan pemanipulasian.
3.5.
Contoh Penerapan Program IDT
IDT banyak dilakukan
diberbagai daerah di Indonesia, salah satunya yang akan kami contohkan adalah
pelaksanaan program IDT di beberapa desa di Sumatera Barat . Desa-desa tersebut
terletak di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, desa-desa tersebut
dipilih sebagai tempat pelaksanan program IDT, karena memang desa-desa tersebut
bisa dikatakan masih tertinggal. Ketertinggalan desa tersebut bisa dilihat dari
letak geografisnya pertaniannya yang relative terbatas. Bahkan ada dua desa di
Kabupaten Agam yang terletak di bawah kaki gunung, dimana sulit dijangkau
dengan kendaraan roda empat. Selain itu, sebagian penduduk hanya berpendidikan
rendah, mayoritas hanya lulusan SD. Hal ini selain dikarenakan factor ekonomi,
juga dikarenakan desa mereka tidak ada SMP, untuk melanjutkan hingga ke tingkat
SMP mereka harus berjalan sangat jauh keluar desa mereka. Mengenai fasilitas
kesehatan pun, sebagian besar dalam satu desa hanya memiliki satu bidan desa
saja.
Sebagai tahap awal, di
kedua Kabupaten tersebut, diberlakukan adanya KK miskin sehingga bantuan yang
diberikan jatuh ditangan yang tepat. Penentuan jenis usaha yang akan
dilaksanakan terlebih dahulu dimusyawarhkan dengan Pokmas, tenaga pendamping
yang kemudian di konsultasikan ke bagian Kecamatan. Dan usaha yang akhirnya
dipilih adalah penggemukan sapi dan kerbau, usaha ini dipilih karena dianggap
masyarakat kurang lebih telah mengenalnya, relative mudah pemeliharaannya dan pakannnya
juga mudah diperoleh disekitar lahan pertanian mereka. Dan kebetulan desa-desa
ini tidak diarahkan untuk menggenmukan sapi unggul dari luar, melainkan sapi
local. Mereka juga diberikan kebebasan untuk memilih dan menawar sapi di pasar
hewan terdekat. Ada beberapa desa yang berhasil dengan usaha tersebut, hal ini
menggambarkan adanya situasi bottom up
yang berasakan working and planning with
people. Namun ada pula desa yang memilih usaha dalam bentuk industry,
jualan keliling atau membuka warung didepan rumah, namun banyak yang mengalami
kegagalan, salah satu faktornya adalah mereka yang tidak terbiasa atau kurang
mengenal usaha tersebut. Sehingga modal dana IDT semakin menyusut. Salah pilih
usaha inilah meruapakn salah satu yang menyebabkan gagalnya program IDT.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
ditarik adalah :
·
IDT meruapakan salah
satu program yang muncul saat kepemimpinan presiden Soeharto yang dirancang
Mubyarto bersama seorang teman LSM-nya.
·
Makna program IDT :
1) sebagai
usaha penanggulangan kemiskinan melalui kepedulian di antara yang telah maju
dan kuat terhadap yang miskin dan tertinggal
2) merupakan
salah satu strategi pemerataan dan penajaman program pembangunan yang ditujukan
kepada penduduk miskin di desa tertinggal
3) sebagai
upaya meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat dalam perubahan struktur yang tumbuh
dari kemampuan masyarakat sendiri
·
Kelebihan program IDT :
1) pelaksanaan
program IDT menjadikan masyarakat miskin sebagai aktor utama dalam pengentasan
fakta kemiskinan yang sedang mereka alami sendiri
2) program
IDT adalah program untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin
untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha
3) program
IDT mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada
dalam kerangka penanggulangan kemiskinan secara komprehensif
·
Tantangan program IDT :
1) kesulitan
dalam menjangkau wilayah-wilayah desa tertinggal yang amat tersebar dan
terisolasi
2) SDM
masih rendah, sehingga sulit berdikari sendiri
3) monitoring
pelaksanaan program masih menemukan banyak kendala
4.2
Saran
·
Adanya penjelasan lebih
dalam mengenai contoh pelaksanaan program IDT secara riil
·
Untuk program IDT itu
sendiri, seharusnya diadakan perbaikan sehingga program IDT itu dapat terus
berjalan dan membantu masyarakat tertinggal
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous. 2009. Tesis Pemanfaatan
Dana Impres Desa Tertingga Pasca Program study di desa X. http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/11/tesis-pemanfaatan-dana-inpres-desa.html
. Diakses pada tanggal 7 Maret 2013.
Said, Andri . 1997. Pemberdayaan
Pokmas Desa Tertinggal : Peluang dan tantangan Pembangunan Ekonomi Pedesaan di
Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian No. 2. UNHAS. Diakses pada
tanggal 7 Maret 2013
Sumodiningrat, G. 1994. Program IDT : Moral
Pembangunan dan pembangunan Moral. Makalah disampaikan pada kursusu perencanaan
Pembangunan Nasional. LPEM Universitas Indonesia, Jakarta. Diakses pada tanggal
7 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar