Pages

Ads 468x60px

Labels

Rabu, 29 Juli 2015

Hukum Mendirikan Negara

    Hukum Mendirikan Negara
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam Negara islam. Penegakan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha’ mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam.[1]


Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah SWT dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah Beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapapun, sebab Beliau adalah penutup para Rasul. Maka tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti Beliau. Karena yang menggantikannya (Abu Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka ia dinamakan dengan khalifah (Khalifah Rasul Allah = Pengganti Rasulullah).
Dalam pandangan islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang erat sekali. Sementara dalam praktiknya, para khalifah di dunia islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus.
Agar kepemimpinan islam (imamah atau khalifah) tersebut berlaku efektif dalam dunia islam, maka umat islam membutuhkan pendirian Negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran islam. Negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu yang tunduk kepada suatu pemerintahan yang teratur, yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus kepentingan dan kemaslahatan umum.[2]
Seperti diuraikan di atas, bahwa Negara dibutuhkan dalam islam untuk merealisasikan wahyu-wahyu Allah, maka islam memandang bahwa Negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri. Menurut al-Mawardi, pendirian Negara ini didasarkan pada ijma’ ulama’, adalah fardlu kifayah. Pandangannya didasarkan pada kenyataan sejarah al-khulafa’ al-rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (Suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarananya itu juga hukumnya wajib). Artinya menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah Negara. Maka, hukum mendirikan Negara juga wajib (fardu kifayah).[3]
Pemikir modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd Qadir ‘Audah mengemukakan enam argument tentang wajibnya mendirikan Negara, yaitu[4]: Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rasulullah SAW, sebagaimana pendirian Negara Madinah. Dalam Negara ini, Beliau menciptakan satu kesatuan politik dan menyatukan umat islam di bawah kepemimpinannya. Kedua, umat islam, khususnya para shahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk memilih pemimpin Negara setelah wafatnya Rasulullah. Seandainya para shahabat ketika itu berbeda pendapat tentang penggantian Rasul, tentu saja pendirian Negara juga tidak mereka sepakati. Ketiga, sebagian besar kewajiban syar’i tergantung pada adanya Negara. Kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi Negara merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dalam kehidupan manusia. Keempat, nash-nash Al-Qur’an dan hadits Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan Negara, seperti dalam surat An-Nisa’, 4:59
يَاأيُّهَاَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْاأَطِيْعُوْااللَّهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُولِي الّأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”
Ulil amri dalam ayat tersebut adalah para pemimpin Negara yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan di kalangan umat islam. Sementara hadits Nabi di antaranya menyebutkan bahwa di antara bentuk ketaatan kepada Allah adalah mematuhi Beliau, dan di antara bentuk kepatuhan kepadanya adalah mematuhi para pemimpin umat islam. Kelima, sesungguhnya Allah menjadikan umat islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda bahasa, suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka berpecah dan berselisih paham. Karena itu umat islam juga merupakan satu kesatuan politik. Keenam, konsekuensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat islam harus memilih dan mematuhi satu pemimpin tertinggi.
Dari uraian di atas, kami menyimpulkan bahwa hukum mendirikan Negara adalah merupakan kewajiban umat islam. Karena dengan begitu umat islam dapat bersatu, mereka dapat beribadah tanpa harus bersembunyi. Dan demi tercapainya kemaslahatan, maka umat islam tidak bisa hanya mengandalkan diri mereka masing-masing, mereka harus bahu-membahu. Dengan adanya Negara, mereka dapat memelihara agama dan mengatur urusan duniawi. Serta Negara merupakan sarana agar tujuan menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan bisa tercapai dalam kehidupan umat islam.




[1] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 2007), 129.
[2] Ibid., 131.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 133.

Tidak ada komentar:

 
 
Blogger Templates