BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam menganjurkan agar umat islam suka memberi, karena dengan memberi
lebih baik daripada menerima. Pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas,
tidak ada pamrih atau motif apapun kecuali untuk mencari keridhaan dari Allah
SWT dan untuk mempererat tali persaudaraan diantara sesama. Apabila kita
memberikan sesuatu kepada orang lain maka sebaiknya tidak berlebih-lebihan
karena hal yang berlebihan akan menimbulkan hal yang tidak baik.
Oleh karena itu supaya kita tidak salah dalam melakukan pemberian baik itu
hibah, sedekah ataupun hadiah perhatikan susunan cara yang akan kita pelajari
dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
1. Bagimana cara memberikan hibah itu?
2. Bagimana cara memberikan sedekah itu?
3. Bagimana cara memberikan hadiah itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa
Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata ÙˆَÙ‡َبَ yang
berarti pemberian.
Kata hibah juga dipakai oleh al-Qur’an dalam arti pemberian. Hal ini,
umpamanya, dapat ditemui pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 38. Dalam
ayat ini diceritakan tentang permohonan (doa) Nabi Zakaria kepada Allah.[1]
Ù‚َالَ رَبِّ Ù‡َبْ Ù„ِÙ‰ْ Ù…ِÙ†ْ Ù„َدُÙ†ْÙƒَ Ø°ُرِّÙŠَّØ©ً Ø·َÙŠِّبَØ©ًØ£ِÙ†َّÙƒَ سَÙ…ِÙŠْعُ
الدُّعَاءِ
“(Zakaria)
berkata: ya Tuhanku! Anugerahilah aku dari sisiMu seorang anak keturunan yang
baik! Sesungguhnya Engkau adalah Mahamendengar permintaan”
Berdasarkan
keterangn-keterangan diatas, dengan sederhana dapat dikatakan bahwa hibah
adalah suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang lain dikala
ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan balas jasa. Oleh sebab itu hibah
merupakan pemberian yang murni, bukan karena mengharapkan pahala dari Allah,
serta tidak pula terbatas berapa jumlahnya.[2]
Karena merupakan pemberian yang mempunyai
akibat hukum perpindahan hak milik maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta
kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip hibah. Dengan membuat perumpamaan, rasulullah SAW mengatakan
bahwa kalau pihak pemberi hibah menuntut kembali sesuatu yang telah dihibahkan
maka perbuatannya itu sama seperti anjing yang menelan kembali sesuatu yang
sudah ia muntahkan.
Hibah
hukumnya dibolehkan, dan bahkan dianjurkan. Dalam suatu riwayat dari Abu
Hurairah dikatakan bahwa:
ÙŠَÙ‚ُÙˆْÙ„ُ رَسُÙˆْÙ„ُ اللّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ:
تَÙ‡َا دُÙˆْا تَØَا بُÙˆْ
“Rasulullah
SAW mengatakan: saling memberilah kamu, niscaya kamu akan saling kasih
mengasihi”.
a.
Rukun-rukun hibah:
1. Kedua belah pihak yang berakad
(Aqidain)
Ada beberapa syarat untuk pemberi
hibah yakni, harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai
kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya.
2. Shighat (ucapan)
Yaitu ijab dan qabul berupa
ucapan dari orang yang bisa berbicara dan termasuk ijab yang jelas jika dia
mengatakan: “Saya hibahkan kepadamu, saya berikan kepadamu, saya jadikan
milikmu tanpa bayaran,” dan termasuk qabul yang jelas seperti ucapannya: “saya
terima, saya ridha,”. Adapun orang yang bisu cukup dengan menggunakan isyarat
yang bisa dipahami.
3. Barang yang Dihibahkan
(Mauhub)
Setiap benda yang boleh
diperjualbelikan boleh dihibahkan, karena dia adalah akad yang bertujuan
mendapatkan hak milik terhadap satu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang
bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap yang bisa dijual boleh
dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.
b. Hukum menggantungkan akad hibah
dengan syarat
Jika syarat ini bertentangan
dengan tujuan akad maka hukumnya tidak sah seperti dia mengatakan: “Saya
hibahkan kepadamu dengan syarat jangan kamu hibahkan dan jangan kamu jual,”
atau dengan syarat harus kamu hibahkan atau kamu jual atau dengan syarat kamu
hibahkan kepada Fulan sesuatu,” maka dalam kondisi seperti ini syarat tidak sah
namun apakah hibah tetap sah jika ada syarat yang rusak, ada dua pendapat:
Jika dia memberikan tempo waktu
dalam hibah seperti dia mengatakan: “Saya hibahkan tanah ini kepadamu selama
setahun kemudian kembali kepadaku,” maka hibah tidak sah jika ada penentuan
tempo sebab akad hibah adalah akad pemberian hak milik yang tidak boleh ada
pembatasan waktu.[3]
c. Hukum Hibah Setelah Kematian Salah
Satu Pihak yang Berakad
Jika pemberi hibah atau yang
menerima hibah meninggal dunia sebelum ada penerimaan, jika kita mengatakan
hibah adalah akad wajib, maka kita batal dengan kematian salah satu pihak yang
berakad namun diteruskan oleh ahli warisnya atau fasakh. Dan jika kita
mengatakan hibah termasuk akad boleh (jaizah), maka dia batal dengan
kematian salah satu pihak yang berakad sama seperti wakil dan perkongsian, ini
adalah pendapat Imam Ahmad dimana beliau berkata tentang riwayat dari Ali bin
Abu Thalib dan Abu Harist tentang seorang lelaki yang diberi hadiah namun belum
sampai kepadanya sampai dia meninggal, hadiah itu kembali kepada pemberinya
selama belum diterimanya.[4]
Sedangkan pendapat yang
mengatakan akad hibah batal dengan dengan adanya kematian adalah lemah, letak
kelemahannya bukan kembali kepada qabul (penerimaan) namun kembali
kepada sifat akad yaitu wajib (luzum) dan ini berlaku juga pada hibah
dan hadiah, ia juga ada perbedaan tentang orang gila dan orang yang pinsan, dan
bagi wali orang gila dia berhak menerimanya sebelum dia sadar.[5]
d. Hukum Penarikan Kembali Hibah
Penarikan kembali hibah setelah
diserahkan hukumnya haram kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya demikian
juga semua yang pokok (orangtua dan yang sejajar dengan mereka) menurut
pendapat yang masyhur dan ini mencakup hadiah, dan sedekah menurut pendapat
yang lebih kuat, dan tidak wajib segera namun boleh kapan saja dia mau.
B. Sedekah
Pemindahan hak milik bisa juga
dalam bentuk sedekah. Sedekah adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang
kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan
tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian. Para ulama’ membagi
sedekah itu menjadi dua yaitu sedekah wajib dan sedekah sunnah. Sedekah wajib
adalah pemberian harta yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang telah memiliki
harta dalam jumlah tertentu (sampai senisab) dengan syarat-syarat tertentu dan
diberikan dalam jumlah tertentu kepada pihak-pihak tertentu pula yang sudah
diatur oleh agama. Istilah lain untuk jenis sedekah wajib ini ialah “zakat”
yang pembicaraannya dikupas dalam fikih ibadah. Adapun sedekah sunnat ialah
pemberian harta oleh seseorang kepada pihak lain dengan mengharapkan pahala
dari Allah diluar pembayaran zakat. Padanan kata yang sering dipakai di
masyarakat ialah kata “infak”. Jumlahnya tidak ditentukan kadarnya, semakin
banyak sudah tentu semakin baik.[6]
Bagi orang yang mampu/kaya,
selain wajib menzakati harta bendanya (apabila telah mencapai nisab dan
haulnya), juga masih ada kewajiban lain untuk menggunakan sebagian harta
bendanya untuk kepentingan umum (agama, masyarakat, dan negara).[7]
Menurut Rasyid Ridha dalam
bukunya yang berjudul Tafsir al-Manar mengatakan: sedekah tathawwu’ (sunnah)
itu boleh diberikan kepada siapa saja, baik Muslim atau non Muslim. Berbeda
dengan zakat, baik zakat mal atau zakat fitrah, hanya boleh diberikan kepada
orang-orang yang beragama islam.[8]
Unsur-unsur yang harus ada dalam sedekah
adalah:
1.
Pihak yang sedang bersedekah,
2.
Adanya pihak yang menerima sedekah,
3.
Adanya benda yang disedekahkan,
4.
Dan adanya shighat ijab kabul.
Persyaratan untuk setiap rukun sedekah
sama dengan persyaratan pada hibah.
C. Hadiah
Bentuk lain dari pemindahan hak
milik yang berdekatan denga dua jenis diatas adalah hadiah. Pada dasarnya
hadiah tidak berbeda dari hibah. Hanya saja, kebiasaannya, hadiah itu lebih
dimotifasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang.
Sebagaimana hibah, hadiah juga
dibolehkan oleh agama. Rasulullah SAW sendiri pernah menerima hadiah semasa
hidunya, sebagai tanda rasa hormat dan bersahabat dengan pihak lain.
Rukun dan syarat hadiah sama
dengan hibah dan sedekah. Untuk terwujudnya suatu hadiah maka adanya:
1.
Pihak yang memberikan hadiah,
2.
Pihak penerima hadiah,
3.
Materi yang dihadiahkan,
4.
Dan ijab kabul sebagai tanda adanya
transaksi hadiah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya hibah, sedekah dan hadiah
mempunyai makna yang sangat berdekatan. Semua pengertian dari ketiga istilah
tersebut berupa pemberian hak milik sewaktu masih hidup tanpa ada ganti. Nabi
selalu menganjurkandan mensunnahkan untuk memberikan hadiah ataupun sedekah.
Apabila pemberian tersebut diberikan dengan maksud cinta kepadanya dan untuk
mendekatkan diri kepadanya maka hal tersebut dinamakan hadiah namun apabila
pemberian tersebut dimaksudkan untuk bertaqarrub kepada Allah maka hal tersebut
dinamakan sedekah.
Namun ada sebagian kalangan yang
membedakan antara sedekah dan hadiah, jika dia memberiakan sesuatu sebagai hak
ilik kepada orang yang memerlukan demi pahala akhirat maka dinamakan sedekah,
dan jika dipindahkannya ketempat yang menerima hibah sebagai tanda hormat
kepadanya maka hal tersebut disebut dengan hadiah dan setiap hadiah dan sedekah
adalah hibah dalam arti bahasa dan tidak semua hibah itu sedekah dan hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz
Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar