Pages

Ads 468x60px

Labels

Rabu, 29 Juli 2015

Perbedaan Hibah, Sadaqah, dan Hadiah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam menganjurkan agar umat islam suka memberi, karena dengan memberi lebih baik daripada menerima. Pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas, tidak ada pamrih atau motif apapun kecuali untuk mencari keridhaan dari Allah SWT dan untuk mempererat tali persaudaraan diantara sesama. Apabila kita memberikan sesuatu kepada orang lain maka sebaiknya tidak berlebih-lebihan karena hal yang berlebihan akan menimbulkan hal yang tidak baik.


Oleh karena itu supaya kita tidak salah dalam melakukan pemberian baik itu hibah, sedekah ataupun hadiah perhatikan susunan cara yang akan kita pelajari dalam makalah ini.

B. Rumusan masalah
1. Bagimana cara memberikan hibah itu?
2. Bagimana cara memberikan sedekah itu?
3. Bagimana cara memberikan hadiah itu?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata ÙˆَÙ‡َبَ yang berarti pemberian.
Kata hibah juga dipakai oleh al-Qur’an dalam arti pemberian. Hal ini, umpamanya, dapat ditemui pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 38. Dalam ayat ini diceritakan tentang permohonan (doa) Nabi Zakaria kepada Allah.[1]

Ù‚َالَ رَبِّ Ù‡َبْ Ù„ِÙ‰ْ Ù…ِÙ†ْ Ù„َدُÙ†ْÙƒَ Ø°ُرِّÙŠَّØ©ً Ø·َÙŠِّبَØ©ًØ£ِÙ†َّÙƒَ سَÙ…ِÙŠْعُ الدُّعَاءِ
“(Zakaria) berkata: ya Tuhanku! Anugerahilah aku dari sisiMu seorang anak keturunan yang baik! Sesungguhnya Engkau adalah Mahamendengar permintaan”
Berdasarkan keterangn-keterangan diatas, dengan sederhana dapat dikatakan bahwa hibah adalah suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang lain dikala ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan balas jasa. Oleh sebab itu hibah merupakan pemberian yang murni, bukan karena mengharapkan pahala dari Allah, serta tidak pula terbatas berapa jumlahnya.[2]
  Karena merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak milik maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hibah. Dengan membuat perumpamaan, rasulullah SAW mengatakan bahwa kalau pihak pemberi hibah menuntut kembali sesuatu yang telah dihibahkan maka perbuatannya itu sama seperti anjing yang menelan kembali sesuatu yang sudah ia muntahkan.
Hibah hukumnya dibolehkan, dan bahkan dianjurkan. Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah dikatakan bahwa:
ÙŠَÙ‚ُÙˆْÙ„ُ رَسُÙˆْÙ„ُ اللّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ: تَÙ‡َا دُÙˆْا تَØ­َا بُÙˆْ
“Rasulullah SAW mengatakan: saling memberilah kamu, niscaya kamu akan saling kasih mengasihi”.
            a. Rukun-rukun hibah:
1. Kedua belah pihak yang berakad (Aqidain)
Ada beberapa syarat untuk pemberi hibah yakni, harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya.
2. Shighat (ucapan)
Yaitu ijab dan qabul berupa ucapan dari orang yang bisa berbicara dan termasuk ijab yang jelas jika dia mengatakan: “Saya hibahkan kepadamu, saya berikan kepadamu, saya jadikan milikmu tanpa bayaran,” dan termasuk qabul yang jelas seperti ucapannya: “saya terima, saya ridha,”. Adapun orang yang bisu cukup dengan menggunakan isyarat yang bisa dipahami.
3. Barang yang Dihibahkan (Mauhub)
Setiap benda yang boleh diperjualbelikan boleh dihibahkan, karena dia adalah akad yang bertujuan mendapatkan hak milik terhadap satu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap yang bisa dijual boleh dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.            
b. Hukum menggantungkan akad hibah dengan syarat
Jika syarat ini bertentangan dengan tujuan akad maka hukumnya tidak sah seperti dia mengatakan: “Saya hibahkan kepadamu dengan syarat jangan kamu hibahkan dan jangan kamu jual,” atau dengan syarat harus kamu hibahkan atau kamu jual atau dengan syarat kamu hibahkan kepada Fulan sesuatu,” maka dalam kondisi seperti ini syarat tidak sah namun apakah hibah tetap sah jika ada syarat yang rusak, ada dua pendapat:
Jika dia memberikan tempo waktu dalam hibah seperti dia mengatakan: “Saya hibahkan tanah ini kepadamu selama setahun kemudian kembali kepadaku,” maka hibah tidak sah jika ada penentuan tempo sebab akad hibah adalah akad pemberian hak milik yang tidak boleh ada pembatasan waktu.[3]
c. Hukum Hibah Setelah Kematian Salah Satu Pihak yang Berakad
Jika pemberi hibah atau yang menerima hibah meninggal dunia sebelum ada penerimaan, jika kita mengatakan hibah adalah akad wajib, maka kita batal dengan kematian salah satu pihak yang berakad namun diteruskan oleh ahli warisnya atau fasakh. Dan jika kita mengatakan hibah termasuk akad boleh (jaizah), maka dia batal dengan kematian salah satu pihak yang berakad sama seperti wakil dan perkongsian, ini adalah pendapat Imam Ahmad dimana beliau berkata tentang riwayat dari Ali bin Abu Thalib dan Abu Harist tentang seorang lelaki yang diberi hadiah namun belum sampai kepadanya sampai dia meninggal, hadiah itu kembali kepada pemberinya selama belum diterimanya.[4]
Sedangkan pendapat yang mengatakan akad hibah batal dengan dengan adanya kematian adalah lemah, letak kelemahannya bukan kembali kepada qabul (penerimaan) namun kembali kepada sifat akad yaitu wajib (luzum) dan ini berlaku juga pada hibah dan hadiah, ia juga ada perbedaan tentang orang gila dan orang yang pinsan, dan bagi wali orang gila dia berhak menerimanya sebelum dia sadar.[5]
d. Hukum Penarikan Kembali Hibah
Penarikan kembali hibah setelah diserahkan hukumnya haram kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya demikian juga semua yang pokok (orangtua dan yang sejajar dengan mereka) menurut pendapat yang masyhur dan ini mencakup hadiah, dan sedekah menurut pendapat yang lebih kuat, dan tidak wajib segera namun boleh kapan saja dia mau.

B. Sedekah
Pemindahan hak milik bisa juga dalam bentuk sedekah. Sedekah adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian. Para ulama’ membagi sedekah itu menjadi dua yaitu sedekah wajib dan sedekah sunnah. Sedekah wajib adalah pemberian harta yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang telah memiliki harta dalam jumlah tertentu (sampai senisab) dengan syarat-syarat tertentu dan diberikan dalam jumlah tertentu kepada pihak-pihak tertentu pula yang sudah diatur oleh agama. Istilah lain untuk jenis sedekah wajib ini ialah “zakat” yang pembicaraannya dikupas dalam fikih ibadah. Adapun sedekah sunnat ialah pemberian harta oleh seseorang kepada pihak lain dengan mengharapkan pahala dari Allah diluar pembayaran zakat. Padanan kata yang sering dipakai di masyarakat ialah kata “infak”. Jumlahnya tidak ditentukan kadarnya, semakin banyak sudah tentu semakin baik.[6]
Bagi orang yang mampu/kaya, selain wajib menzakati harta bendanya (apabila telah mencapai nisab dan haulnya), juga masih ada kewajiban lain untuk menggunakan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umum (agama, masyarakat, dan negara).[7]
Menurut Rasyid Ridha dalam bukunya yang berjudul Tafsir al-Manar mengatakan: sedekah tathawwu’ (sunnah) itu boleh diberikan kepada siapa saja, baik Muslim atau non Muslim. Berbeda dengan zakat, baik zakat mal atau zakat fitrah, hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beragama islam.[8]
Unsur-unsur yang harus ada dalam sedekah adalah:
1.        Pihak yang sedang bersedekah,
2.        Adanya pihak yang menerima sedekah,
3.        Adanya benda yang disedekahkan,
4.        Dan adanya shighat ijab kabul.
Persyaratan untuk setiap rukun sedekah sama dengan persyaratan pada hibah.
C. Hadiah
Bentuk lain dari pemindahan hak milik yang berdekatan denga dua jenis diatas adalah hadiah. Pada dasarnya hadiah tidak berbeda dari hibah. Hanya saja, kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotifasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang.
Sebagaimana hibah, hadiah juga dibolehkan oleh agama. Rasulullah SAW sendiri pernah menerima hadiah semasa hidunya, sebagai tanda rasa hormat dan bersahabat dengan pihak lain.
Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah dan sedekah. Untuk terwujudnya suatu hadiah maka adanya:
1.        Pihak yang memberikan hadiah,
2.        Pihak penerima hadiah,
3.        Materi yang dihadiahkan,
4.        Dan ijab kabul sebagai tanda adanya transaksi hadiah.



  
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya hibah, sedekah dan hadiah mempunyai makna yang sangat berdekatan. Semua pengertian dari ketiga istilah tersebut berupa pemberian hak milik sewaktu masih hidup tanpa ada ganti. Nabi selalu menganjurkandan mensunnahkan untuk memberikan hadiah ataupun sedekah. Apabila pemberian tersebut diberikan dengan maksud cinta kepadanya dan untuk mendekatkan diri kepadanya maka hal tersebut dinamakan hadiah namun apabila pemberian tersebut dimaksudkan untuk bertaqarrub kepada Allah maka hal tersebut dinamakan sedekah.
Namun ada sebagian kalangan yang membedakan antara sedekah dan hadiah, jika dia memberiakan sesuatu sebagai hak ilik kepada orang yang memerlukan demi pahala akhirat maka dinamakan sedekah, dan jika dipindahkannya ketempat yang menerima hibah sebagai tanda hormat kepadanya maka hal tersebut disebut dengan hadiah dan setiap hadiah dan sedekah adalah hibah dalam arti bahasa dan tidak semua hibah itu sedekah dan hadiah.









DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.






[1] Helmi karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 73.
[2] Helmi karim, Fiqh Muamalah, 74.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 447.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, 450.
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, 451.
[6] Helmi karim, Fiqh Muamalah, 80.
[7] Hlm 82
[8] Hlm 84

Tidak ada komentar:

 
 
Blogger Templates