Pages

Ads 468x60px

Labels

Rabu, 29 Juli 2015

Pengertian Puasa, Rukyatul Hilal, Rukun dan Hal yang Membatalkan Puasa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti halnya kita ketahui bahwa agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya adalah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam, jadi semua umat islam wajib melaksanakannya meskipun pada kenyataannya umat islam banyak yang tidak melaksanakannya.
Banyak orang-orang islam yang melaksanakannya hanya sekedar melaksanakan tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang dapat membatalkannya. Selain itu banyak pula umat islam yang tidak mengerti akan pengertian puasa dan bagaimana cara menjalankan puasa dengan baik dan benar. Hasilnya, mereka berpuasa hanya mendapat rasa lapar saja.
Oleh karena itu dalam makalah ini kita akan menbahas tentang hal-hal yang berkenaan dengan puasa.

B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pengertian puasa yang benar itu?
2.        Bagaimana cara menetukan ru’yatul hilal itu?
3.        Apa saja syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan puasa itu?









BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Puasa
Secara bahasa puasa berarti menahan. Sedangkan dalam istilah syara berarti menahan nafsu dari segala yang membukakan di siang hari, mulai dari terbit fajar sadiq hingga terbenam matahari. Orang yang berhak melakukannya yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid dan tidak sedang nifas.[1] Adapun puasa yang diwajibkan Tuhan atas umat Islam ialah:


1.        Puasa di bulan Ramadhan.
2.        Puasa yang dinazarkan.
3.        Puasa kaffarat (denda), yang disebabkan oleh:
a.         Jima di siang hari bulan Ramadhan.
b.        Zihar (menyerupakan istri dengan ibu).
c.         Melanggar sumpah.
d.        Karena pembunuhan jiwa yang diharamkan secara sengaja atas sebab tersalah.
Adapun yang diterangkan disini adalah puasa di bulan Ramadhan, sedangkan puasa yang lain-lain itu akan diterangkan dalam babnya masing-masing.
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
يَآ اَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. اَيَّامًا مَعَدُوْدَاتٍ ,فَمَنْكَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍفَعِدَّةٌمِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ, وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْ نَهُ فِدْيَةٌطَعَامُ مِسْكِيْنٍ, فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ, وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
Hai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibakan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (memelihara diri). Lamanya berpuasa itu pada beberapa hari yang dapat dihitung. Barang siapa yang sedang sakit, diantaramu atau sedang berjalan, maka boleh puasa itu dikerjakan pada hari yang lain. Dan di atas mereka yang tidak kuat berpuasa, boleh membayar fidyah, yaitu memberi makanan orang miskin. Barang siapa yang menambah kebajikan berpuasa, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dalam ayat ini dinyatakan: orang yang sehat wajib puasa pada bulan Ramadan sedang orang yang sakit atau musafir, boleh berpuasa dihari lain, dan orang yang tidak kuat berpuasa, boleh membayar fidyah.
Puasa di bulan Ramadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua dari hijrah Nabi SAW., yaitu diwajibkan atas orang-orang mukallaf (balig berakal), dan atas orang yang kuasa mengerjakannya.[2]
            Oleh karena itu tidaklah wajib puasa atas:
1.        Anak-anak.
2.        Orang gila.
3.        Orang yang hilang akal, sebab mabuk dan lain-lain.
4.        Orang yang sangat tua yang sudah payah menjalankan puasa.
5.        Orang yang sakit yang bila ia berpuasa mungkin bertambah-tambah sakitnya.
     Bila anak-anak kuat mengerjakannya, puasa itu sah juga dan ia diberi pahala seperti pahala amalan wajib. Adapun orang-orang kafir, wajib juga atas mereka mengerjakan puasa seperti halnya shalat, hanya puasa itu tidak sah dikerjakannya, karena kekafirannya. Dengan alasan, mereka akan dituntut oleh Tuhan dihari kiamat, sebagaimana mereka dituntut karena meninggalkan shalat, seperti yang sudah diterangkan perihal shalat.[3]
                        Hal-hal yang mewajibkan puasa antara lain:
1.        Karena telah melihat awal bulan Ramadhan (ru’yatul hilal) dengan oandangan mata.
2.        Dengan perhitungan (hisab).

B.  Syarat dan Rukun Puasa
     Para fukaha mengajukan lima syarat untuk wajib-puasa:
1.        Islam
2.        Balig
3.        Berakal
4.        Mampu
5.        Berada di tempat tinggal (Iqamah)
     Rukun puasa, antara lain menahan diri dari dua syahwat, perut dan kemaluan, atau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Ulama’ Malikiyah dan ulama’ Syafi’iyah menambah satu rukun lagi, yaitu berniat pada malam hari.[4]

C. Cara Menentukan Ru’yatul Hilal
Untuk menetapkan ru’yatul hilal (pada awal bulan Ramadhan) boleh dengan seorang saksi yang dipandang adil (atau ahli dalam ilmu falak).
Menurut Imam Syafi’i, untuk ru’yatul hilal Ramadhan cukup satu orang saksi dan unruk hilal berbuka lebaran harus dua orang saksi. Sebuah hadis menyatakan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ر,ع. قَالَ: تَرَأَىْ النَّاسُ الْهِلاَلَ فَاَخْبَرْتُ رَسُوْلَ اللّهِ ص. م. اَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَاَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ. (رواه ابو داودوابن حبان)
Dari Umar r.a., ia berkata, “manusia telah ribut mengatakan hilal ramadhan telah ada lalu aku kabarkan kepada Rasulullah SAW. Bahwa aku telah melihatnya, lalu beliau pun berpuasa, dan disuruhnya manusia mulai berpuasa.” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Adapun fardlu puasa itu adalah berniat pada malam harinya. Mengerjakan niat di malam harinya itu hanya diisyaratkan bagi puasa fardlu. Artinya menjatuhkan niat itu diwaktu malam, yaitu antara terbenam matahari dan terbit fajar shadiq.

D. Hal-hal yang Membatalkan Puasa
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa:[5]
1.        Memasukkan suatu ain (benda) kedalam salah satu rongga badan, seperti rongga hidung, mulut dubur, kubul, dan lubang telinga.
Bila pelaku puasa secara sengaja memakan atau meminum sesuatu, baik sesuatu tersebut berupa makanan dan minuman, menelan apa yang tertinggal di sela-sela gigi. Maka puasanya akan menjadi batal.[6]
2.        Jima’ (bersetubuh) di siang hari pada bulan Ramadhan dengan kemauan sendiri. Sebaliknya, tidaklah batal orang yang dipaksa jima’, bila jima’nya tidak tidak dimaksudkan taladzdzudz, yaitu kesenangan.
Bersetubuh akan membatalkan puasa meskipun dari persetubuhan ini tidak keluar mani. Apabila seseorang lupa bahwa dirinya tengah berpuasa sehingga melakukan persetubuhan, maka puasanya tidak akan batal, tetapi begitu dia teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, dia harus segera keluar dari persetubuhannya tersebut, dan jika tidak demikian maka puasanya menjadi batal.[7]
3.        Muntah dengan sengaja. Artinya dibuat-buat jalan supaya muntah, umpamanya memasukkan tangan kedalam kerongkongan ketika berkumur-kumur dan lain-lain. Andaikata ia muntah, puasanya batal dan wajiblah ia mengqadanya kembali.

E. Faedah Puasa
Faedah puasa sangat banyak, Al-Kamal bin Hamam berkata: puasa adalah rukun Islam yang ketiga setelah syahadat dan shalat. Allah swt. mensyariatkan puasa karena beberapa faedah.
Faedah terbesar dari puasa adalah dapat mewujudkan beberapa hal berikut.[8]
1)        Puasa bisa menenangkan nafsu amarahdan meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan dalam anggota tubuh, seperti mata, telingga dan kemaluan. Suatu pepatah mengatakan, “Jika nafsu lapar, semua anggota tubuh akan kenyang. Sebaliknya, jika nafsu kenyang maka semmua anggita tubuh akan lapar.”
2)        Puasa akan menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap orang miskin. Sebab, ketika orang yang berpuasa merasakan kepedihan rasa lapar pada beberapa waktu, dia akan berpikir, bagaimana jika keadaan seperti itu terjadi sepanjang hari. Pikiran itu akan mendorongnyan untuk mengasihi orang miskin. Dengan demikian dia akan memperoleh pahala di sisi Allah swt.
3)        Puasa, terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan orang-orang miskin, yaitu dengan ikut menanggung atau merasakan penderitaan mereka. Tindakan seperti ini akan mengangkat kedudukannya di sisi Allah swt.

F. Uzur-Uzur yang Membolehkan Pembatalan Puasa
Sesoranng yang sedang berpuasa boleh berbuka karena ada uzur.
1.        Perjalanan
Hal ini sebagaimana firman Allah swt. sebagai berikut:
...فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍفَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ...
Maka barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Q.S. 2:184)
Perjalanan yang membolehkan pembatalan puasa ialah perjalanan jauh, yang membolehkan pengqasharan shalat. Perjalanan seoerti ini, kira-kira, sejauh 89 km. Dengan syarat, menurut jumhur, perjalanan itu harus dimulai sebelum terbit fajar. Syarat yang lain, orang-orang yang melakukan perjalanan itu harus telah sampai ke tempatpengqasharan shalat dibolehkan. Yakni, seukuran dia telah meninggalkan rumah/tempat tinggalanya. Adanya syarat diatas dikarenakan puasa tidak boleh dibatalkan dalam perjalanna setelah seseorang berada dalam keadaan puasa. Jika seseorang telh berjalan dan melewati keramaian daerahnya sebelum fajar terbit, dia boleh berbuka tetapi harus mengqadhanya. Begitu juga, jika dia memulai perjalanan ketika sedang berpuasa kemudian mengalami kesulitan yang tidak bisa diatasi.[9]
2.        Sakit
Penyakit yang membolehkan pembatalan puasa ialah penyakit yang jika seseorang berpuasa menimbulkan kesulitan yang berat, atau menyebabkan kerusakan pada dirinya. Begitu pula jika ia khawatir jika ia berpuasa, penyakitnya akan bertambah parah, atau kesembuhannya memakan waktu lama. Namun, jika penyakit itu tidak membahayakan orang yang berpuasa, puasa tidak boleh dibatalkan. Seperti, penyakit kulit, sakit gigi, sakt jari, bisul, dan sebagainya.[10]
3.        Wanita ha[11]mil
4.        Wanita menyusui
Wanita hamil dan wanita menyusui bayi dibolehkan berbuka. Dengan catatan, keduanya merasa khawatir atas dirinya atau bayinya. Kekhawatiran itu bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan, atau timbulnya suatu penyakit. Kekhawatiran yang dipandang sah ialah kekhawatiran yang didasarkan atas pemikiran yang mendekati kepastian atau pemberitahuan dari dokter Muslim yang andal dan adil.
5.        Masa tua
Menurut ijma’, berbuka puasa diperbolehkan bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa sepanjang tahun. Mereka tidak wajib mengqadha puasa, karena tidak ada kemampuan dalam dirinya. Tetapi mereka wajib mengeluarkan fidyah, yakni memberi makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari.[12]
6.        Rasa lapar dan haus yang membahayakan
Orang yang sangat lapar dan hausyang khawatir akan terjadi kerusakan atas dirinya, khawatir akan berkurang ketajaman akalnya, atau, kawatir akan keselamatan sebagian alat indranya. Jika dia berbuaka, dia harus mengqadha puasanya.jika seseorang merasa khawatir atas keselamatan jiwanya, dia diharamkan berpuasa.
Mengenai hal tersebut ada perbedaan pendapat. Sebuah pendapat mengatakan bahwa dia harus menahan diri pada waktu-waktu yang masihtersisa dalam hari tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa dia boleh amakan.[13]
7.        Terpaksa
Orang yang dipaksa boleh berbuka puasa. Menurut jumhur, harus mengqadha puasanya; sedangkan menurut madzab syafi’i, orang yang terpaksa tidak boleh berbuka puasa. Jika seorang perempuan disetubuhi secara paksaatau dalam keadaan tertidur, dia harus mengqadha puasanya.
BAB III
KESIMPULAN

Secara bahasa puasa berarti menahan. Sedangkan dalam istilah syara berarti menahan nafsu dari segala yang membukakan di siang hari, mulai dari terbit fajar sadiq hingga terbenam matahari. Orang yang berhak melakukannya yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid dan tidak sedang nifas.
            Untuk menetapkan ru’yatul hilal (pada awal bulan Ramadhan) boleh dengan seorang saksi yang dipandang adil (atau ahli dalam ilmu falak). Para fukaha mengajukan lima syarat untuk wajib-puasa: Islam, balig, berakal, mampu, berada di tempat tinggal (Iqamah). Rukun puasa, antara lain menahan diri dari dua syahwat, perut dan kemaluan, atau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Ulama’ Malikiyah dan ulama’ Syafi’iyah menambah satu rukun lagi, yaitu berniat pada malam hari.
            Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yaitu Memasukkan suatu ain (benda) kedalam salah satu rongga badan, seperti rongga hidung, mulut dubur, kubul, dan lubang telinga, jima’ (bersetubuh) di siang hari pada bulan Ramadhan dengan kemauan sendiri, dan muntah dengan sengaja.














DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah. 1996. Puasa dan Itikaf. Damaskus: Dar al-Fikr.
Mas’ud, Ibnu, dkk. 2007. Fiqih Madzab Syafi’i. Bandung: CV Pustaka Setia.
Musyafiqi, Muhammad Ridha. 2013. Daras Fikh Ibadah. Jakarta: Nur Al-Huda.
Shalih, Su’ad Ibrahim. 2011. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah.





[1] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), 85
[2] Ibnu Mas’ud, dkk, Fiqih Madzhab Syafi’i (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 504.
[3] Ibid., 505.
[4] Su’ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita (Jakarta: Amzah, 2011), 394
[5] Ibnu Mas’ud, dkk, Fiqih Madzhab Syafi’i, 509.
[6] Muhammad Ridha Musyafiqi, Daras Fikih Ibadah (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), 319.
[7] Ibid., 321.
[8] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 89-90.
[9] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 209-210.
[10] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 215.
[11] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 217-218.
[12] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 218.
[13] Wahbah Al-Zuhayly, diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Puasa dan Itikaf , 220.

Tidak ada komentar:

 
 
Blogger Templates